PERGURUAN TAMAN SISWA

Minggu, 03 Jun 2018 | 20:19:18 WIB - Oleh Nurdin | Dibaca 8761


PERGURUAN TAMAN SISWA
   

(Sekolah dalam Masa Resistensi Kultural pada Jaman Kolonialisme)
Selintas Ki Hajar Dewantara dan Hardiknas

oleh : C. Agus Hidayat.

"Jadikanlah setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru"
(Ki Hajar Dewantara).

Ki Hajar Dewantara atau RM Soewardi Soerjaningrat (SS) lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, putra GPH Soerjaningrat atau cucu Sri Paku Alam III. SS mengenyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) atau Sekolah Rendah untuk anak-anak Eropa. Kemudian, SS melanjutkan studi ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Di sekolah ini, SS tdk tamat, karena kondisi kesehatannya tidak mendukung. Kemudian, SS menjalani profesi sebagai jurnalis di beberapa majalah. Tulisannya komunikatif, mengena, halus, tapi keras. Walaupun lahir dari keluarga bangsawan, tapi SS berjiwa populis dan nasionalis, sangat dekat dengan rakyat. Jiwanya menyatu dalam pendidikan dan memperjuangkan kesetaraan serta kemajuan sosial, budaya, dan politik dalam masyarakat kolonial. Hal ini menjadi kekuatan untuk memperjuangkan nasinalisme  Indonesia lewat pendidikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa yang dimaksudkan untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat bumiputra.

Perguruan Taman Siswa didirikan di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 sebagai instrumen mobilisasi kesadaran kebangsaan sekaligus ikhtiar membangun  kehidupan bangsa yang berpendidikan. Paradigma populis, nondiskriminatif, demokratis, nasionalis ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara (KHD) untuk mengangkat martabat kemanusiaan bangsa Indonesia melalui pergerakan bidang pendidikan yang mengusung prinsip proliferasi (merata untuk semua), akseptabel (dapat dinikmati seluruh rakyat) dan visioner (pendidikan untuk memajukan kehidupan bangsa).

Gagasan mendirikan Perguruan Taman Siswa bermula dari diskusi (saresehan) setiap hari Selasa Kliwon. Para peserta memiliki kesamaan suasana batin dan persepsi terhadap kondisi pendidikan yang memprihatinkan saat itu. Titik kulminasi dari letupan kegundahan hati muncul ketika sistem pendidikan yang diterapkan oleh kolonial bersifat materialistik, individualistik, dan intelektualistik. Dialektika lahir mengingat harapan besar akan sistem pendidikan yang bermartabat, setara, dan memanusiakan manusia, yaitu humanis, demokratis, populis, dan nasionalis bisa diterapkan. Sementara, sistem pendidikan kolonial didasarkan pada diskriminasi dan staratifikasi sosial yang tidak mengapresiasi kodrat dan martabat manusia. Alhasil, mayoritas rakyat tidak apat mengenyam bangku sekolah, sehingga merasa menjadi manusia inferioritas.

Sasaran pertama yang harus diubah ialah metode/strategi pendidikan dan pengajaran, yaitu dari sistem pendidikan "perintah dan sanksi (hukuman)" ke sistem pendidikan "pamong". Untuk itu, Ki Hajar Dewantara membuat wadah bernama "Nationaal Onderwijs Taman Siswa", sebuah wadah hasil gagasan yang lebih nasionalis yang mencakup seluruh bangsa Indonesia (national wide). Konsep kebangaaan, humanis, dan populis yang diterapkan serta dengan melihat model Sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India) telah mempertebal keyakinan KHD akan sistem pendidikan kerakyatan yang cocok untuk kaum pribumi. Selanjutnya, KHD membuat istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu "Patrap Guru" atau tingkah laku guru yang menjadi panutan murid-murid dan masyarakat. Perilaku guru dalam mendidik menjadi pegangan dan model utama. KHD menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu ing ngarso sung tulada (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), dan tut wuri handayani (di belakang mendorong atau mendukung).

Patrap guru diterapkan pada semua jenjang Pendidikan Taman Siswa, yaitu Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan Taman Guru (Sarjana Wiyata). Penerapannya merupakan manifestasi resistensi kultural karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan sikap pelaku pendidikan yang berlaku pada masa kolonial. Sekolah Taman Siswa terus berkembang di beberapa wilayah dengan menggunakan azas dan dasar Taman Siswa. Terdapat beberapa pasal dalam azas tersebut, antara lain menghargai kodrat alam dan evolusi yang kodrati manusia. Azas ini mengakui kemerdekaan setiap orang utk maju dan merdeka. Murid harus berperasaan, berpikiran, dan beraktivitas dalam kebebasan yang tertib. Guru sebagai pamong, yaitu di belalakang untuk mempengaruhi dan memberi jalan kepada anak didik untuk mandiri. Selain itu, memotivasi dan menginovasi murid sekaligus memberi contoh. Terdapat azas lain yang mengatur keselarasan hidup, kemanusiaan, keikhlasan, dan hal lain yang lebih mengutamakan pada kemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa. Azas pendidikan Perguruan Taman Siswa tersebut sangat cocok, yaitu _momong, among, ngemong, pangulawenthah, yang bermuara pada tata tentram atau mamayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia) dan mengikis azas kolonial yang regeering, tucht, dan orde.

Ki Hajar Dewantara adalah tokoh teladan bangsa, negarawan, jurnalis, politikus, pejuang pendidikan bangsa. Watak kolonial yang  refresif, hegemoni, superioritas secara cerdas dilawan dengan mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa (counter intitution) yang mengusung kesetaraan, kemajuan, populis, demokratis, dan kebangsaan. Hingga akhirnya UU Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie) tahun 1932 buatan kolonial yang mengekang kesetaraan pendidikan dan membatasi gerakan nasionalisme pendidikan dihapus oleh pemerintah kolonial. Atas jasa-jasanya, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Pahlawan Nasional (1959) dan hari kelahirannya tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Selamat Hardiknas.
C. Agus Hidayat, S.Pd.,M.Pd.
(Kepala SMPN 3 Tegalwaru Purwakarta).

Referensi Utama:
Dirjen Kebudayaan. 2017. Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya. Jakarta : Museum Kebangkitan Nasional.



Tuliskan Komentar
INSTAGRAM TIMELINE