23 April 2019
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
disdik.purwakartakab.go.id -- Belakangan, dunia remaja Indonesia kembali heboh. Anak-anak perempuan tanggung terlibat perundungan (bullying). Korbannya relatif seumuran : dipukul, ditendang bahkan konon katanya--maaf--dirusak alat kelaminnya. Ngeri sekali, meski kelak hasil visum yang dipublikasi luas menyatakan bahwa soal perusakan alat kelamin itu tidak benar.
Tentu, yang menjadi masalah mendasarkan bukan soal kelamin si korban. Alih-alih, yang layak bikin kita begidik adalah perilaku barbar para anak tanggung itu. Bagaimana bisa anak seumuran itu begitu brutal? Aksi yang sama sekali tidak konsisten dengan konsep dan semangat "anak-anak".
Sebagai negara hukum (rechstaat), para pelaku diganjar hukuman. Sanksi yang diberikan tidak seberat orang dewasa. Sebab, secara formal, para pelaku tergolong "dibawah umur". Sehingga, hukuman pun disesuikan dengan kategori itu.
Tapi, lagi-lagi, terlepas dari aspek formal tersebut, hal yang jauh lebih esensial justru bukan itu. Dunia anak-anak mestinya tidak begitu. Apa yang dilakukan para pelaku bukan bentuk kenakalan remaja. Melainkan, kriminal. Dan pada konteks yang paling ideal dan normatif, tidak ada landasan moral dan intelektual atas relasi anak dan perilaku kriminal.
Artinya, apa yang terjadi pada para pelaku itu adalah sebuah anomali. Ironi sosial yang tidak hadir begitu saja. Justru, dibalut serangkaian alasan (raison d'etre), baik itu bersifat langsung atau tidak.
TELADAN TIGA REMAJA
Diantaranya, mungkin, remaja saat ini kehilangan panutan (role model). Kalaupun ada yang dimaksud "panutan", boleh jadi efeknya malah buruk terhadap kejiwaan dan karakter mereka. Dalam hal ini, "panutan" itu malah membuat mereka tergerak untuk jadi terlalu bebas dan agresif.
Pada konteks itu, novel berseri yang dibuat Tere Liye mestinya bisa menjadi semacam "oase" bagi para remaja. Dibuat enam babak (berjudul "Bumi", "Bulan", "Bintang", "Matahari", "Komet" dan "Komet Minus" : Pen), Tere Liye membuat rangkaian kisah petualangan panjang tiga remaja : Raib, Seli dan Ali. Mereka menjelajahi dunia paralel yang hidup beriringan dengan kehidupan normal kita di muka bumi ini.
Bersamaan dengan kehidupan kita di bumi ini ternyata ada dimensi lain. Dimensi itulah yang dimaksud dengan dunia paralel. Tere Liye dengan sangat baik 'mendongengkan' trio Raib-Seli-Ali menembus lika-liku dunia paralel. Ada klan bulan, klan matahari, klan bintang, klan komet dan klan komet minus yang mereka temui. Di setiap klan itu mereka menjajaki petualangan yang berbeda-beda.
Narasi cerita disampaikan dengan gaya bahasa sederhana. Saya yakin, setiap pembaca akan nyaman dan bahkan larut mengikuti setiap alur cerita. Tanpa terasa, tahu-tahu kita telah sampai di akhir cerita. Lalu, bertanya-tanya bagaimana kelanjutannya?
Dari kisah tiga remaja ini pula banyak pelajaran sekaligus 'kritik' yang Tere Liye sisipkan. Mulai dari petualangan para tokoh yang tidak lepas dari buku. Dalam setiap kepingan novel, petualangan berawal dari pintu yang disebut "buku kehidupan". Sekilas saja Tere Liye seperti ingin menyinggung soal pentingnya (membaca) buku.
Lebih dari itu, pelajaran lain yang jauh lebih berharga adalah persahabatan yang saling membangun (konstruktif). Pada setiap kepingan novel ini, mulai dari yang pertama hingga ke-enam, dikisahkan bagaimana persahabatan Raib-Seli-Ali yang saling menjaga dan menguatkan antara satu sama lain.
Nilai itulah yang sepertinya nyaris hilang dari kehidupan remaja kita saat ini. Perkembangan teknologi membuat remaja-remaja kita asyik dengan dirinya sendiri. Mereka asyik dengan gadget masing-masing. Persahabatan pun kehilangan intensitas, karena 'tersekat' perhatian terhadap sosial media.
Harapan saya mungkin juga harapan anda juga. Di tengah ke-kosong-an teladan bagi para remaja, semoga buku ini bisa menjadi semacam 'obat'. Sungguh, saya trenyuh dengan suguhan cerita pada novel berseri Tere Liye ini. Ingin rasanya kembali ke masa-masa remaja yang naif, polos dan penuh keceriaan.
Buku ini keren sekali. Percayalah. Kalau tidak percaya : buktikan!