21 Januari 2021
Oleh : Asep Rahmatudin, M.Ag. / Ihat Solihat, M.Ag.
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan ebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kam yang berfikir. (QS. Al-Ra’d : 4)
Membahas Tatanen di Bale Atikan dalam perspektif Al-Qur’an memerlukan kajian yang mendalam dengan menggunakan metode penelitian ilmiah sesuai dengan disiplin keilmuan. Karena itu, dalam tulisan ini penulis hanya akan menyajikan beberapa kutipan ayat Al-Qur’an yang memiliki pesan moral untuk mengelola dan memberdayakan potensi alam (bumi) untuk kemakmuran hidup.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt, sebagai khalifah di muka bumi, yang memiliki tugas dan kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran di atas permukaan bumi. Berbagai upaya yang dilakukan oleh manusia dalam memakmurkan bumi pada dasarnya merupakan perwujudan dari fungsi manusia sebagai ‘abid (hamba), yaitu beribadah (menyembah) hanya kepada Allah. Ibadah tidak hanya diartikan sebagai rangkaian ritual yang bersifat rutinitas dan formalistik, tetapi lebih pada penghayatan dari rasa syukur dan kecintaan seorang hamba kepada Rabb-nya. Sehingga setiap helaan nafas dan semua aktivitas merupakan manifestasi dari penghambaan diri kepada Sang Pencipta (al-Khalik) alam semesta.
Allah Swt menciptakan bumi, langit, dan segala isinya diperuntukan bagi manusia supaya dikelola, diberdayakan, dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan hidup di dunia. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang sains berkaitan dengan fenomena alam semesta, bahkan jumlahnya melebihi ayat-ayat yang membahas masalah fiqih. Ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta (kauniyah), jika dicermati dan dikaji sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah Swt akan menjadi isnpirasi dan sumber nilai pengembangan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat kauniyah selalu diakhiri dengan kalimat yang bersifat tantangan kepada manusia untuk berpikir mempergunakan akal (‘aql) dan hati (qulb/fu’ad).
Berkaitan dengan kegiatan pertanian, banyak ayat-ayat yang membahas tentang pemuliaan tanah, air, udara, dan matahari. Allah Swt menciptakan permukaan bumi pada bagian-bagian yang berdampingan, ada dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah), rawa/sungai/laut. Perbedaan bagian permukaan bumi ini walaupun tanaman disirami dengan air yang sama, tetapi akan menghasilkan buah dan rasa yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Ra’d/13 : 4, yang artinya:
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Al-Ra’d/13 : 4)
Air memegang peran penting dalam kegiatan pertanian, ketersediaan air yang cukup akan berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Tanah yang dikelola dengan baik akan menghasilkan tanaman yang tumbuh dengan subur, sebaliknya tanah yang tidak baik, gersang sejak awal atau karena kerusakan sebagai akibat dari salah kelola akan menyebabkan tanaman kekurangan nutrisi dan tumbuh merana. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-A’raf : 57-58, yang artinya:
57. “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”.58.
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur”.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman, yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami). Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya. Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan, dan pohon kayu ke luar dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan pemakan makanan bagi orang-orang yang makan”. (QS. Al-Mu’minun: 17-20)
Masih banyak ayat-ayat lain yang membahas tentang pertanian dan tersebar pada beberapa surat. Jika klasifikasikan unsur pertanian yang disebutkan pada beberapa ayat meliputi unsur tanah, air, udara (angin), cahaya matahari, dan jenis-jenis tanaman, rerumputan, atau pepohonan, kesemuanya membentuk ekosistem dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk kemaslahatan penduduk bumi.
Hasil pertanian menjadi bahan pokok pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi. Bagi seorang muslim, hasil pertanian diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan berbagi dengan sesama. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah/2: 267, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2 : 267)
Bagi seorang muslim juga harus memperhatikan pengolahan hasil pertanian pasca panen, sangat dianjurkan untuk menyimpan sebagian hasil panen sebagai persedian untuk mengatasi masa sulit (paceklik), yaitu dengan membuat lumbung hasil pertanian. Hal ini digambarkan dalam kisah Nabi Yusuf as ketika mentakwil mimpi seorang raja, bahwa akan datang satu masa paceklik tujuh tahun lamanya. Karena itu, raja harus (memerintahkan rakyatnya) bercocok tanam selama tujuh tahun berturut-turut dan hanya sebagian kecil saja hasil panennya yang dimakan, sebagian besar lainnya disimpan sebagai persediaan menghadapi masa paceklik. Kisah Nabi Yusuf ini mengajarkan kepada ummat Islam, terutama seorang pemimpin untuk memikirkan ketersedian bahan kebutuhan pokok masyarakat dalam jangka waktu yang lama.
Jika pengelolaan sumber daya alam untuk budidaya pertanian dan pemanfaatan hasilnya sesuai dengan yang ditegaskan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an, maka akan melahirkan keharmonisan semesta. Akan tetapi Allah Swt menciptakan manusia dengan dua sifat paradoksal, Allah Swt memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih dua jalan, ada jalan kebaikan dan jalan keburukan. Jalan kebaikan berujung kemaslahatan dan jalan keburukan berujung kerusakan, semuanya akan mempertanggungjawabkan pilihannya masing-masing.
Banyak orang yang berupaya menjaga dan memelihara bumi tempat berpijak, tempat mencari nafkah, dan tempat berteduh dengan menciptakan keselarasan dan keseimbangan ekosistem bumi. Mereka sadar bahwa menjaga bumi dari kerusakan merupakan amanah dan wujud dari ketauhidan seorang hamba kepada Rabb-nya. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-A’raf : 56, yang artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Akan tetapi ada juga orang yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan, sehingga menimbulkan kerusakan dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup ekosistem bumi. Bencana terjadi di mana-mana sebagai akibat tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat pada surat Ar-Rum/ 30: 41 yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Dari dua sifat paradoks yang dimiliki manusia akan melahirkan pekerjaan atau kewajiban bagi orang-orang yang beriman, yaitu kewajiban berdakwah, mengedukasi, dan menyadarkan sesama. Allah Swt memerintahkan semua orang yang beriman untuk mengajak sesamanya kembali ke jalan Tuhannya dengan cara-cara yang baik. Dari sisi metode yang dimaksud dengan cara yang baik bisa dimaknai dengan kesantunan, humanis, dan holistik, sedangkan dari sisi majemen bisa dimaknai dengan cara terencana, terorganisir, terukur, dan terkendali. Dalam konteks ini program Tatanen di Bale Atikan yang diimplementasikan dengan paradigma permakultur merupakan satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran hidup ekologis, memelihara, dan menjaga keseimbangan ekosistenm bumi, sehingga tercipta HARMONI SEISI BUMI.