image

Admin Dinas Pendidikan

20 Januari 2021

58137x Dilihat
Tatanen di Bale Atikan: Allah Menciptakan Segala Sesuatu Baik Adanya

Kitab Suci sebagaimana ada sekarang, dimulai dengan kisah Penciptaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1).” Segala sesuatu yang diciptakan Allah selama enam hari merupakan ciptaan yang baik adanya (bdk. Kej. 1:1-25). Terlebih lagi manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (bdk. Kej. 1: 26). Melalui kisah penciptaan umat beriman, yakni semua yang percaya kepada Allah melihat-Nya sebagai sumber segala sesuatu yang baik di alam ini.  Keyakinan ini dirumuskan pada permulaan syahadat umat beriman Katolik, “Aku percaya akan Allah pencipta langit dan bumi. Rumusan syahadat ini juga ingin menunjukkan bahwa manusia sadar bahwa ia diciptakan dan seluruhnya tergantung pada Tuhan seperti sebagaimana yang dikatakan oleh Ayub, “Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya dan mengembalikan nafas-Nya maka binasalah bersama-sama segala yang hidup dan kembalilah manusia kepada debu (Ayb. 34:14-15). Bagi umat beriman Katolik memahami penciptaan berarti ia menyadari bahwa karya penciptaan itu adalah karya Tuhan dan hanya Tuhan sajalah yang dapat menciptakan segala sesuatu yang baik di dunia ini dengan penuh kasih dan parhatian. Manusia sebagai salah satu bagian dari ciptaan meyadari bahwa segalanya bergantung pada Allah, karena Tuhan Allah adalah dasar atas segala-galanya. 

 

Kesadaran akan kemahakuasaan Allah dan kesadaran akan baik dan sempurnanya karya ciptaan Allah, hendaknya menjadi pedoman bagi manusia dalam memelihara relasinya dengan Allah dan juga dengan alam ciptaan. Relasi antara manusia, Allah, dan seluruh alam ciptaan ini sudah ada dan dibicarakan dalam Kitab Suci. Dalam buku Kebijaksanaan, Raja Salomo berkata, “Allah nenek moyang dan Tuhan belaskasihan, dengan firman-Mu telah kaujadikan segala sesuatu, dan dengan kebijaksanaan Kaubentuk manusia, agar ia menguasai segala mahkluk yang telah Kauciptakan, dan memerintah dunia semesta dengan suci dan adil serta memegang kekuasaan dengan tulus hati (Keb. 9:1-3).” Dalam Kitab Suci manusia yang diciptakan secitra dengan Allah merupakan penguasa seluruh dunia.  “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di atas bumi (Kej.1:28). Manusia adalah wakil Allah, maka ia memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan (bdk. Kej. 2:20); manusia menjadi pusat alam semesta (Sir. 17:3-10).  

 

Posisi manusia sebagai wakil Allah dan pusat alam semesta dapat menyeret manusia menjadi penguasa sewenang-wenang terhadap alam ciptaan. Posisi manusia sebagai wakil Allah dan pusat alam semesta dimaksudkan untuk mengundang manusia ikut serta mengatur, memelihara, dan menciptakan kembali dunianya.  Manusia hanyalah sebagian kecil dari seluruh ciptaan dan hidupnya pun disangga dan tidak bisa terlepas dari alam semesta dan ciptaan lainnya. Maka dari itu, predikat manusia sebagai gambaran Allah perlu dimengerti juga secara sosial dan ekologis, dalam hubungan dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan keutuhan alam semesta. Dengan demikian, manusia merupakan pelayan dalam keterarahan dunia kepada Allah. 

 

Apakah manusia sudah melaksanakan tugas pelayanannya sebagai wakil Allah dengan baik?  Pada kenyataannya pada abad ke-20 ini, manusia tidak menjalankan tugas ini dengan baik. “Keseimbangan lingkungan yang halus, dijungkirbalikkan dengan menghancurkan secara membabi buta hidup binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan atau dengan menghabiskan sumber-sumber alam secara tidak bertanggungjawab.” Kata Paus Yohanes Paulus II, dalam amanat bagi Hari Perdamaian Dunia, 8 Desember 1989).  Dua puluh enam tahun berlalu, masalah yang sama masih terjadi. Berbagai macam bentuk kerusakan lingkungan, sebagai akibat dari  kesewenangan dan kerakusan manusia menjadi perhatian utama Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si. Dalam dokumen ini, berbagai macam bentuk polusi alam, perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup dan kemerosotan manusia, serta ketimpangan global menjadi sorotan. Keserakaha manusia, yang dilandasi dengan pola pikir “hanya demi keuntungan pribadi.” berdampak negatif bagi kehidupan. Oleh karena itu, identitas manusia sebagai “pelayan, wakil Allah” dalam keterarahan dunia kepada Allah patut dipertanyakan. Alih-alih menjadi pelayan, manusia justru merusak apa yang baik yang telah diciptakan Tuhan Allah. 

 

Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato Si. Ingin kembali menyadarkan manusia akan tugas utamanya sebgai wakil Allah untuk merawat, memelihara dan menciptakan kembali (menyembuhkan) alam ciptaan yang rusak agar kembali menjadi baik adanya. Dalam Ensiklik ini, Paus Fransiskus menyebutkan inti ajaran Katolik adalah menekankan kepedulian terhadap makhluk ciptaan Tuhan dan kaum miskin. Ia mendesak manusia bertanggungjawab secara moral untuk merawat lingkungan seperti yang tertulis di kitab Kejadian 2:15, bahwa kita memiliki tugas untuk “menjaga” dan “merawat” Bumi. Pendidikan ekologis menjadi salah satu cara yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus untuk menyadarkan kembali peran manusia sebagai pelayan Allah untuk merawat alam ciptaan ini. Pendidikan ekologis yang dimaksud adalah pendidikan mengenai lingkungan hidup yang tidak hanya terfokus pada informasi ilmiah, melainkan juga harus berkembang dan mencakup kritik terhadap “mitos” modernitas yang didasarkan pada cara pikir utilitarian (individualisme, kemajuan tanpa batas, persaingan, konsumerisme, pasar tanpa aturan).  

 

 

Pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan suatu "kewarganegaraan ekologis" harus diterima dengan motivasi yang tepat dan menanggapinya dengan suatu perubahan pribadi. Sangatlah mulia mengemban tugas memelihara ciptaan melalui tindakan kecil sehari-hari, dan sangat mengagumkan bila pendidikan mampu mendorong orang untuk menjadikannya sebagai suatu gaya hidup. Pendidikan dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorong berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan, seperti: menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, memilah sampah, memasak secukupnya saja untuk dimakan, memperlakukan makhluk hidup lain dengan baik, menggunakan transportasi umum atau satu kendaraan bersama dengan beberapa orang lain, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak perlu. Semuanya itu adalah bagian dari suatu kreativitas yang layak dan murah hati, yang mengungkapkan hal terbaik dari manusia. Menggunakan kembali sesuatu daripada segera membuangnya, karena terdorong oleh motivasi mendalam, dapat menjadi tindakan kasih yang mengungkapkan martabat kita.  Janganlah kita berpikir bahwa upaya ini tidak akan mengubah dunia. Tindakan-tindakan ini, meskipun kecil, menyebarkan suatu kebaikan di masyarakat dan akan menghasilkan buah di luar apa yang bisa kita lihat,  karena suatu kebaikan cenderung selalu menyebar, meskipun kadang-kadang tak terlihat. Selain itu, tindakan-tindakan ini dapat meningkatkan harga diri kita, memampukan kita untuk hidup lebih penuh dan mendalam serta merasakan bahwa kehidupan di bumi ini berharga. 

 

Pendidikan ekologis dapat terjadi dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katekese, dan lain-lain. Pendidikan yang baik di sekolah sejak usia dini menaburkan benih yang dapat menghasilkan buah sepanjang hidup. Akan tetapi, akan lebih baik lagi jika anak-anak sudah diajarkan untuk merawat lingkungan sejak dini di dalam keluarga yang menjadi sanggar budaya kehidupan. Keluarga adalah tempat pembinaan integral, di mana pematangan pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspeknya yang saling berkaitan erat. Dalam keluarga, kita belajar untuk meminta izin tanpa menuntut, untuk mengatakan “terima kasih” sebagai ungkapan penghargaan atas apa yang telah diterima, mengendalikan agresi atau keserakahan, dan meminta maaf ketika telah menyebabkan kerugian. Tindakan sopan santun yang sederhana dan tulus ini membantu untuk membangun budaya kehidupan bersama dan rasa hormat untuk lingkungan hidup kita.  

 

Sudah menjadi tugas dan panggilan kita (manusia) yang diciptakan unik dan istimewa sebagai gambaran dan citra Allah untuk menjada, dan merawat lingkungan dan alam ciptaan. Penguasaan yang diberikan kepada manusia oleh Sang Pencipta bukanlah suatu kuasa mutlak dan juga tidak bisa dikatakan bahwa manusia bebas menggunakan dan menyalahgunakan atau memanfatkan dengan sekehendak-hatinya kekayaan alam ciptaan. Sang teladan Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk mempraktikkan “jalan kecil cinta”, tidak melewatkan kesempatan untuk sebuah kata lembut, untuk sebuah senyuman, untuk suatu gerakan kecil apa pun yang menebarkan perdamaian dan persahabatan. Ekologi integral juga terdiri dari tindakan sehari-hari yang sederhana, yang mematahkan logika kekerasan, eksploitasi, keegoisan, untuk menjaga tatanan rumah kita bersama yang baik adanya.

Bagaimana Kesan Anda?

Berikan suara Anda untuk membantu kami meningkatkan pengalaman pengguna.

Sangat Buruk

Sangat Buruk (0%)

Buruk

Buruk (0%)

Cukup

Cukup (0%)

baik

Baik (0%)

Sangat baik

Sangat Baik (100%)