Senja telah jatuh ke bumi. Keadaan Bukit Patenggeng di Kampung Citukung begitu sunyi. Anak-anak yang biasanya ramai mengaji di surau, malam itu tidak kelihatan. Ustad Ahmad meliburkan sementara pengajian karena harus menghadiri perayaan pernikahan keponakannya di Kampung Cilingga. Suara serangga malam satu dua mulai terdengar di tengah gemerisik rumpun bambu diterpa angin.
Dengan terbungkuk-bungkuk Aki Uho menuruni golodog rumahnya. Kain sarung membelit leher kurusnya. Bakiak kayu yang telah usang nyaring terdengar ketika langkah kakinya menapaki jalan berbatu di depan rumahnya. Ia berjalan perlahan menuju tajug yang berada di sudut kampung.
“Mau ke tajug, Aki?” Kang Udin yang baru selesai mandi di tampian menyapa.
“Iyah, Ujang. Hayu atuh ka tajug!” ujarnya sambil melihat ke arah Kang Udin.
“Silakan duluan, Ki.”
Di tajug, Aki Uho mendapati dua orang yang sama-sama ingin shalat berjamaah. Selesai shalat maghrib mereka tidak langsung pulang. Setelah berdzikir sambil menunggu waktu shalat isya mereka ngobrol ngalor-ngidul, terutama seputar kehidupan.
“Kayaknya musim padi tahun sekarang hasilnya menyusut.” Kang Eman yang memulai percakapan.
“Memangnya mengapa? Bibitnya kurang bagus apa banyak hama?” tanya Wak Dinta
“Bukan itu, masalahnya irigasi yang mengairi sawah tidak lancar,” kata Kang Eman, “Airnya seringkali kurang, apalagi umur padi yang baru sepekan jelas memerlukan air yang cukup. Sementara tadi siang saya melihat irigasi di kampung kita airnya sedikit. Kalau dalam satu dua hari ini tidak ada hujan, entah bagaimana jadinya tanaman padi milik saya, mungkin mati kekeringan.”
“Bagaimana tindakan Pak Kuwu, apakah beliau sudah tahu masalah ini?”
“Sudah, malahan sawah milik Pak Kuwu yang berdekatan dengan sawah milik saya juga sama hampir kekeringan.”
“Wah, susah kalau begitu. Memang kalau Aki perhatikan dari musim ke musim sawah di kampung kita sudah jauh menurun hasilnya. Penyebabnya salah satunya pengairan tidak lancar.” Kata Aki Uho sambil menghela napas panjang.
Memang, cerita sawah kekeringan sudah menjadi bahan perbincangan sehari-hari di Kampung Citukung. Maman salah seorang cucu Aki Uho sudah sering mendengar keluh-kesah kakeknya tentang hal ini.
Ketika di kelas, guru menerangkan pelajaran IPA tentang manfaat air, Maman memberanikan diri bertanya, “Pak, maaf saya mau bertanya?” ujar Maman sambil mengangkat tangannya.
“Ya, silakan!” kata Pak Indra, guru IPA.
“Pak, bagaimana cara mengatasi sawah yang kekeringan yang sekarang terjadi di kampung kami?”
Pak Indra tersenyum, mungkin beliau sudah tahu akan masalah tersebut, “Pertanyaan yang bagus! Maman memiliki kepedulian akan kehidupan para petani.”
“Iya Pak, saya juga mau menanyakan itu. Soalnya sawah punya bapak saya juga kekeringan!” kata Deni dari bangku paling belakang.
“Huuuh...! itu pertanyaan fotocopy..!” kata anak-anak menimpali dengan suara riuh.
“Sudah..., sudah...!” Pak Indra menenangkan suasana. “Begini anak-anak, kekeringan tidak terjadi serta-merta melainkan ada penyebabnya. Nah, penyebabnya inilah yang harus diketahui dulu. Jangan menyalahkan kondisi alam kalau ada perubahan yang ekstrem yang merugikan kehidupan manusia karena biasanya manusia sendiri yang membuat alam berubah, termasuk dalam kasus kekeringan ini.
Air termasuk sumber daya alam yang harus kalian pelihara, karena air merupakan urat nadi dalam kehidupan. Tanpa air tidak mungkin ada kehidupan. Untuk memelihara sumber daya air yang paling mudah adalah dengan menanam pepohonan. Pepohonan mampu menyerap air di kala hujan dan menyimpannya dalam tanah sehingga banyak ditemukan mata air di hutan-hutan yang pepohonannya rimbun.
Dari mata air tersebut mengalir sumber air yang membentuk sungai. Sungai sebagai jalannya air perlu kalian pelihara jangan sampai dijadikan tempat pembuangan sampah sehingga mengakibatkan banjir kala hujan karena terjadi penyumbatan.”
Pak Indra melanjutkan keterangannya dengan jelas. Anak-anak menyimak penjelasan gurunya tentang sumber air, pemeliharaan sumber air dan manfaat air. Selesai pelajaran IPA anak-anak merasa puas dengan keterangan gurunya tersebut.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, semua ke luar kelas. Maman masih duduk di bangkunya membenahi buku-buku ke dalam tas.
“Ayo, Man, kita ke kebun sekolah!” ajak Deni sambil mendekati bangku Maman.
“Iya, sebentar!” jawab Maman.
Kemudian mereka berjalan beriringan menuju kebun sekolah yang berada di sudut kelas VII. Di sana Maman melanjutkan pembicaraan tentang sawah yang kekeringan.
“Aku punya usul, bagaimana kalau kita adakan gerakan penghijauan di Bukit Patenggeng, Man!”
“Bagus, aku setuju. Tapi bagaimana caranya?”
“Caranya, kita ajak teman-teman membawa bibit berbagai tanaman. Kemudian kita tanam beramai-ramai bukit gundul yang ada di atas kampung kita.”
“Setuju! Ide briliant!” Maman mengacungkan ibujarinya.
Seminggu setelah pembicaraan itu, program penghijauan oleh siswa dilaksanakan. Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah mendukung program tersebut. Anak-anak beramai-ramai pergi ke atas bukit di Kampung Citukung sambil membawa berbagai jenis tanaman keras. Ada bibit kayu mahoni, junti, sengon, trembesi, lamtoro, jabon, dan sejenisnya.
Pak Kuwu yang mengetahui kegiatan itu gembira menyambutnya. Begitu pun warga Kampung Citukung antusias membantu anak-anak menanam pohon. Malahan ibu-ibu yang dikomandani Ibu Kuwu menyiapkan makanan dan minuman alakadarnya hasil sumbangan masyarakat Kampung Citukung. Tidak ketinggalan Aki Uho yang sudah renta pun turut berbaur dengan anak-anak ikut menanam pohon.
“Aki, berteduh dulu jangan di tempat yang panas!” kata Maman yang merasa iba melihat kakeknya berpanas-panasan.
“Aki masih kuat, Cu, ayo jangan bermalas-malasan!” jawab Aki Uho sambil mengayunkan cangkulnya membuat lobang untuk ditanami pohon. Anak-anak yang sedang berteduh merasa malu terhadap Aki Uho. Kemudian mereka melanjutkan pekerjaannya.
Selepas adzan dzuhur, pekerjaan menanam pohon hampir selesai. Tinggal sedikit lagi bibit pohon yang belum ditanam. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan Pak Bohim dan beberapa preman kampung.
“Hoooy! Siapa yang menyuruh kalian menanam di bukit leluhur kami?”
Anak-anak kaget bukan kepalang. Mereka terdiam ketakutan melihat wajah bengis Pak Bohim dengan kumis tebal melintang. Apalagi di pinggangnya terselip sebilah golok panjang.
“Siapa yang menyuruh kalian, hah...!” bentaknya lagi.
Pak Kuwu yang mendengar Pak Bohim membentak anak-anak mendekat, “Ada apa Bohim?”
“Mengapa Pak Kuwu berani menyuruh mereka menanam tanah leluhur kami?”
“Lho, bukankah ini pekerjaan yang bermanfaat, Bohim.”
“Bermanfaat bagaimana? Kami tidak bisa membiarkan tanah leluhur kami jadi rusak! Lagipula bagaimana kami bisa berladang kalau tanah ini ditanami tanaman seperti itu!” kata Pak Bohim sambil telunjuknya mengarah kepada tanaman kayu yang sudah selesai ditanam.
“Bohim, kamu perlu tahu justru dengan tanaman kayu seperti ini tanah ini dapat menjadi subur. Kamu tidak perlu takut tidak bisa berladang karena masih luas tanah yang dapat ditanami. Pohon-pohon ini nanti dapat menahan erosi dan menyimpan cadangan air apabila terjadi kekeringan.” Kata Pak Kuwu dengan sabar.
Pak Bohim terdiam, sementara teman-temannya kelihatan gelisah. Mereka serba salah tingkah-lakunya. Pak Kuwu menyadari keadaan dan melanjutkan keterangannya, “Sudahlah Bohim, saya sebagai kuwu tidak mungkin melakukan pekerjaan yang merugikan masyarakat. Apa yang dilakukan anak-anak ini semata-mata wujud kecintaan mereka terhadap lingkungan dan membantu warga Kampung Citukung khususnya dalam mengatasi kekeringan seperti yang terjadi sekarang ini.”
“Maafkan saya Pak Kuwu. Saya tidak tahu kalau manfaatnya seperti itu” kata Pak Bohim melunak.
“Makanya kalau belum tahu sebaiknya tanyakan dulu, jangan terburu emosi. Tuh, lihat anak-anak pada ketakutan melihat kumismu yang seperti ulat bulu.” Kata Pak Kuwu sambil bercanda. Anak-anak cekikikan mendengar ucapan Pak Kuwu yang menyamakan kumis Pak Bohim dengan ulat bulu.
Setelah minta maaf sekali lagi, pergilah Pak Bohim diikuti teman-temannya. Anak-anak merasa lega dan meneruskan pekerjaannya. Tidak lama kemudian datanglah Ibu Kuwu bersama ibu-ibu yang lain, yang membawa makanan dan minuman.
“Ayo anak-anak, kita makan dulu!” kata Pak Kuwu.
“Siap, Pak! Kalau urusan makan saya tidak akan menolak.” Kata Omara yang berbadan gemuk. Teman-temannya ramai menertawakan. Omara memang dikenal jago dalam urusan makan.
Di bawah pohon yang rindang mereka menyerbu makanan yang dibawa ibu-ibu. Tidak ketinggalan mereka pun membuka bekal yang dibawa dari rumah. Suasana jadi riuh ketika Omara tersedak makanan. Mungkin saking laparnya, Omara makan terburu-buru.
“Air minum...., air minum...!” suara Omara tersekat di kerongkongan. Buru-buru Maman mengambil air minum dan memberikannya pada Omara. Deni yang suka iseng menyodorkan ember berisi air.
“Nih air, takut kurang!” kata Deni yang disambut tawa riuh teman-temannya. Omara melotot lucu pada Deni.
“Memangnya aku domba!” kata Omara yang sudah selesai minumnya.
“Siapa bilang kamu domba? Kamu kambing..., ha...ha...ha,” Deni tertawa terbahak-bahak diikuti teman-temannya. Pak Indra tersenyum dan berkata, “Sudah, sudah! Tidak baik makan sambil bercanda!”
“Ayo, siapa yang mau pisang?” Shinta mengacungkan sesisir pisang dari dalam tasnya.
“Simpan dulu, nanti selesai makan untuk cuci mulutku.” Kata Omara sambil menelan nasi. Pak Kuwu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kasihkan saja buat Omara, pisang kan kesukaan dia, sama seperti saudaranya!” kata Irwan. Anak-anak yang paham maksud perkataan Irwan ramai lagi tertawa. Sementara Omara merengut lucu sambil memasukkan sepotong tempe ke dalam mulutnya.
Setelah agak lama beristirahat, mereka melanjutkan pekerjaannya. Anak-anak ramai bercanda saling olok sehingga rasa lelah terlupakan. Tidak terasa menjelang sore seluruh bibit tanaman telah selesai ditanam. Pak Kuwu mengucapkan terima kasih kepada pihak sekolah dan seluruh siswa yang telah peduli terhadap pelestarian lingkungan di Kampung Citukung.
Menjelang senja keadaan Bukit Patenggeng kembali sunyi. Semburat lembayung di ufuk barat menyiratkan sinar harapan esok gemilang bagi kehidupan masyarakat petani.***
Purwakarta, 18 Agustus 2025.
Penulis :
AGUS MULYANA
(Kepala SMPN 3 Darangdan)
Keterangan:
Golodog: tangga dari bambu untuk naik ke rumah panggung.
Tajug: surau kecil.
Ujang: Panggilan kepada anak laki-laki di Sunda.
Hayu atuh ka tajug: Mari pergi ke tajug.