20 Januari 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Purwakarta Sekaligus Co-Founder Saung Kopi Tajug Purwakarta)
Sejak menjadi saksi sidang terbuka disertasi di auditorium Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) – Bandung, saya punya perspektif baru tentang persona Pak Pur, begitu sapa akrab saya kepada Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto. Beliau, sekurang-kurangnya di mata saya, kini semakin ‘shahih’ sebagai cendekia. Ya, gelar “Doktor” (Dr) tentu bukan sembarang. Selain—tentu saja—dibayar dengan mahal, saya yakin prosesnya sulit dan panjang. Saya bilang begitu karena saya membaca draft disertasinya. Terus terang saja : pening!
Luar biasanya, Pak Pur mau-maunya melakukan itu. Padahal, di situasi hidupnya seperti yang sekarang, mayoritas—mungkin—lebih ingin fokus pada hal lain. Pokoknya, selain pendidikan, deh. Bisa bergerak cepat untuk misi akumulasi modal. Agar jauh lebih kaya dari sekarang. Atau, boleh jadi, wara-wiri menjadi seorang cassanova setengah baya. Puber ke-dua, ke-tiga dan seterusnya. Atau, malah leyeh-leyeh sekalian. Menikmati hidup—yang memang tinggal enaknya. Masak iya mesti berjuang dan berjuang terus?
Tapi, ya itu, Pak Pur malah memilih meneruskan studi. Pilihan yang unik. Atau, ‘aneh’, sih. Dan bukankah S-III berarti ‘puncak’ piramida pendidikan? Mentok. Sebab, setelah S-III, setahu saya kan tidak ada lagi. Tidak ada S-IV kecuali kita bicara merek Handphone Samsung yang bahkan sudah sampai S - 10. Artinya, perjalanannya di dunia pendidikan, jika ditafsirkan dari sudut pandang formal, bisa disebut purna. Tuntas.
Saya tidak bermaksud membanding-bandingkannya dengan—katakanlah—pejabat yang lain. Tidak. Tapi, masalahnya, Pak Pur adalah subjek hidup yang ada di depan mata saya. Fakta yang melebihi standar “solid”. Dan jujur harus saya bilang, dari beliau saya mendapat perspektif baru ; bahwa menjadi pejabat, lalu kaya, tidak berarti kendor mendalami pendidikan.
Saya ingin kaya ; sekurang-kurangnya seperti beliau, lah. Namun, tadinya, saya berpikir bahwa ketika sudah kaya, maka pencapaian (achievement) hidup saya selesai sudah. Mau apalagi? Begitu. Kan, ketika sudah kaya, semua hal terkait kebutuhan hidup selesai. Makan gampang. Angsuran tidak ada. Liburan bukan masalah. Apa lagi?
Tapi, dari ‘aksi’ beliau, saya mulai menakar ulang visi pencapaian hidup saya. Sepertinya saya harus memikirkan juga soal ‘karir’ pendidikan. Kaya itu penting memang. Namun, menjadi jauh lebih terdidik dan ter-cerdas-kan juga tidak kalah perlu. Kira-kira begitulah perspektif saya sekarang.
Ruang sidang disertasi yang menghadirkan Pak Pur sebagai pemakalah (sebut saja begitu istilahnya) memantik saya untuk segera bergerak di dunia pendidikan. Kalau tidak kesampaian S-III, ya minimal S-II, lah. Saya ingin meneruskan studi manajemen keuangan. Saya kira itu sangat urgent di era sekarang. Terlebih, sangat aplikatif untuk bisnis yang sedang saya geluti.
Diakhir tulisan ini, jelas saya ingin mengucapkan selamat kepada Pak “Doktor” Pur. Semoga segera buku-buku karya beliau muncul dan bisa kita ‘nikmati’ gagasan demi gagasannya. Selain itu, diam-diam saya pun berharap beliau jadi dosen. Karena, sepertinya ‘seru’ saja kalau beliau jadi dosen. Saya membayangkan beliau menutur ulang kata-kata Soe Hok Gie di kelasnya ; “Guru yang tidak tahan kritik lebih baik masuk keranjang sampah!” Epik!
Purwakarta, 19 Januari 2020
Ditulis di Saung Kopi Tajug Gede Cilodong
(Mari main ke sini. Tapi, jangan lupa jajan, ya?!)