24 November 2020
Oleh : Cucu Agus Hidayat
"Statt deren bloszes gegenteil zu sein, teilt fiktion uns etwas uber wirklichkeit mit". (Wolfgang Iser, dalam Teeuw, 2003:203).
Karya sastra lahir disebabkan adanya dorongan dasar sastrawan (pencipta) untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap rasa kemanusiaan, dan memiliki atensi terhadap realitas objektif dan imajinatif yang berlangsung sepanjang waktu. Dalam perspektif ini, karya sastra merupakan wujud ekspresi personal sebagai dialektika yang bertenaga antara mimesis dan imajinasi atau sublimasi kenyataan dengan kreasi. Karena itu, seperti dalam kutipan di atas, Wolfgang Iser berpendapat bahwa rekaan bukan lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan. Karya sastra --prosa fiksi, sajak, teks drama-- adalah dunia fiksi yang bertolak dari kenyataan.
Cerpen sebagai cipta sastra adalah pembayangan atau pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif ke dalam bentuk-bentuk dan struktur bahasa dalam suatu transformasi yang estetik dan artistik seturut norma bahasa, budaya, dan norma sastra. Totalitas kehidupan yang bisa masuk ke dalam wilayah sastra melingkupi semua kondisi insani manusia. Karena itu, kegiatan membaca atau mengapresiasi cerpen berarti melakukan kegiatan resepsi dan respon artistik, juga memberikan pengalaman estetik, yakni pengalaman dari rekonstruksi peri kehidupan manusia dalam kontinum waktu. Sementara, ekspresi sastra berarti mengkreasikan segala sesuatu sebagai daya ungkap dengan medium bahasa khas yang mengndung nilai estetik dan impresi mendalam. Ekspresi sastra menyoal kemampuan mengais realitas objektif dan diungkapkan kembali secara imajinatif atau fiksional dengan bahasa sastrawi.
Bagi sesiapa pun, termasuk siswa, karya sastra memiliki nilai fungsional. Norton berpendapat bahawa fungsi sastra ialah dulce et utile, yakni memberi kesenangan dan manfaat (menghibur). Karya sastra memang memberi kesenangan, sekaligus memberi faedah. Sastra memiliki energi yang mampu menghadirkan sejumlah nilai (value), baik nilai intrinsik maupun ekstrinsik yang mampu mendorong perkembangan insani siswa. Nilai instrinsik yang dikandung dalam sastra antara lain : memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan; memupuk dan mengembangkan imajinasi; memberi pengalaman baru; mengembangkan wawasan insani; memperkenalkan kesempatan pengalaman; dan meneruskan warisan sastra dari generasi terdahulu. Sedangangkan nilai ekstrinsik sastra antara lain : mendorong perkembangan sosial, kepribadian, kognitif, dan bahasa (Tarigan, 1993:10).
Karya sastra bagi siswa (anak didik) harus ditempatkan dalam kaca mata anak (throught the eyes of the child) sebagai pengamat utama atau pusat fokusnya, baik dalam bentuk apresiasi maupun ekspresi sastra. Anak-anak hidup dalam masa perkembangan, baik fisik maunpun mental. Dari segi perkembangannya, sastra anak dapat menunjang perkembangan bahasa, kognitif, personalitas, dan sosial anak. Kategeri anak di sini meliputi anak usia prasekolah (PAUD dan TK), dan anak usia sekolah (SD/SMP) memiliki fase perkembangan.
Fase perkembangan bahasa anak menurut Vigotsky (Tarigan, 1992:25) meliputi ujaran luar, ujaran pribadi, dan ujaran dalam. Kaitan karakteristik perkembangan bahasa anak berimplikasi pada bacaan sastra yang harus seturut dengan tingkat akuisisi bahasa siswa. Demikian pula, fase perkembangan kognisi yang populer diapungkan oleh Jean Piaget dengan tiga periode, yaitu praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal menuntut sastra bagi anak harus mampu menyokong kognitif anak. Dari sisi perkembangan kepribadian, sastra untuk anak haruslah memberi kenikmatan dan kehikmahan. Prosa fiksi yang disimak dan dibaca atau dituturkan akan mengisi ruang imajinasi anak dan menjadi kekayaan batin yang amat bernilai. Bahkan turut membentuk tatanan moral dan sosial siswa. Sastra turut mengukuhkan posisi insani anak sebagai homo ludens (makhluk bermain) dan homo fabulans (makhluk bersastra).
Pemanfaatan nilai-nilai sastra bagi siswa bergantung pada keterampilan membaca dan menulis yang mereka miliki. Siswa secara minimum harus memiliki functionality literacy atau kemampuan membaca dan menulis untuk tujuan menuntut literasi dalam posisi sosialnya. Dengan demikian, pemerolehan bahasa akan meningkat dan keterampilan bersastra, berpikir, berkepribadian, dan bersosial akan meningkat pula. Apresiasi dan ekspresi sastra harus ditempatkan dalam kerangka pengembangan insani siswa.
Buku sastra yang relevan antologi juga sangat penting dan bernilai untuk mengembangkan kempampuan bersastra dan berbahasa siswa. Sebagaimana Thomas Carlyle mengatakan, "In book lies the soul of the whole past time." Barangkali, dengan buku siswa dapat menggenggam wawasan dunia dan menjelajahi alam pikiran dan imajinasi yang terhampar di lingkungan sekitar siswa.
Materi untuk kegiatan apresiasi dan ekspresi sastra bagi siswa harus juga relevan. Pendidik harus tahu kriteria bahan apresiasi sastra bagi siswa. Demikian pula, pendidik harus tahu bagaimana karya sastra dibuat oleh siswa seturut perkembangan bahasa, kognitif, kepribadian, moral, dan sosial siswa. Dengan demikian, pembelajaran sastra akan semakin bermakna. Carter dan Long dalam Mulyono (1993:113) menjelaskan bahwa pengajaran sastra sebaiknya menjadi sebuah model kajian budaya, kajian linguistik, dan fungsional. Artinya, pengajaran sastra menuntut penggunaan teks sastra yang bermakna, yakni harus "relevant to the life experiences, emotions, or dream of the learners."
Cucu Agus Hidayat, S. Pd.,M.Pd.
(Kepala SMPN 1 Maniis dan Pengurus Komunitas Literasi Purbasari Disdik Purwakarta).