30 April 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Pegiat Kopi Nusantara Sekaligus Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Meski njlimet dan dipenuhi emosi, diakui atau tidak kita berharap jawaban atas pertanyaan, “apakah ada hikmah dari situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini?”
Mestinya ada. Sudah seharusnya. Sebab, bukankah setiap peristiwa akan diikuti dengan makna? Terserah makna itu akan dipahami sekarang atau nanti-nanti. Lagian, jika merunut firman Allah SWT, disebutkan jelas : “bersama kesulitan, ada kemudahan”.
Pada konteks itu, bisa jadi salahsatu hikmah dari pandemi COVID-19 adalah pembiasaan hidup minimalis. Seadanya—dengan segala keterbatasan. Tidak-kah itu yang sedang kita alami saat ini?
‘Pembelajaran’ ini tentu sulit diterapkan pada situasi normal. Apalagi, kita hidup di tengah dinamika kapitalisme ke-kini-an yang semakin menggila. Sulit rasa-rasanya untuk menjadi minimalis. Sementara, berondongan iklan menghampiri kita dari banyak arah—dan media : website, sosial media, televisi, koran, majalah dan banyak lagi. Semua iklan itu berujung pada misi yang sama. Yaitu : Beli!
Hingga, akhirnya, seringkali kita ‘remang-remang’ soal barang-barang yang kita miliki. “Remang-remang” dalam arti kita tidak tahu pasti apakah kita memang membeli barang karena kebutuhan atau karena bujukan iklan. Tahu-tahu, barang menumpuk di rumah. Kebanyakan tidak terpakai—karena ada benda yang sama atau karena tidak jelas apa fungsinya.
Buku karya Francine Jay ini sangat layak untuk anda baca. Hitung-hitung ‘tanggung basah’. Sekalian saja jadi kaum minimalis. Kan, tidak ada ruginya. Malah, pada akhirnya, sikap hidup minimalis akan menguntungkan kita—baik secara mental maupun finansial.
Buku setebal 278 halaman ini akan menuntun anda untuk menjadi minimalis. Fokusnya adalah rumah. Tempat yang menjadi ‘saksi’ bagaimana sikap kita semua terhadap ke-benda-an. Mereka yang konsumeris (atau over-konsumeris) akan tampak dari banyaknya benda berserakan di rumah. Benda-benda itu tidak teridentifikasi dengan baik apa kegunaannya. Sehingga, hanya memenuhi ruangan rumah tanpa makna.
Sementara, orang-orang yang memilih jalan hidup minimalis lebih berhati-hati dan banyak pertimbangan terhadap ke-benda-an. Sebelum barang hadir di rumah, akan selalu ada pertanyaan yang mengiringi. Sekurang-kurangnya, “untuk apa saya beli barang ini”. Lalu, “seberapa butuh saya terhadap barang ini?”.
Pertanyaan sederhana itu sesungguhnya sangat mencerahkan. Sebab, jika dijawab dengan jujur, ternyata dalam hidup ini kita tidak membutuhkan banyak barang. Lalu, kenapa kita terus tergerak membeli dan membeli?
Jika anda tidak bisa memberikan alasan yang mendasar, maka jelas sudah : itulah konsumerisme!
Dalam kehidupan saya pribadi, ternyata barang-barang saya butuhkan sehari-hari tidak lebih dari : (1) peralatan mandi, (2) set pakaian, (3) sepatu/sendal, dan (4) laptop dan gawai pendukung. Barang-barang inilah yang mendukung aktifitas harian saya. Selebihnya adalah barang-barang pendukung yang fungsinya sekunder. Sekedar dekorasi atau gaya hidup.
Lalu, bagaimana dengan anda? Mumpung masih masa WFH. Kenapa tidak sekalian mengevaluasi diri dengan cara menilai barang-barang yang ada di rumah kita? Saya yakin, tidak semua sebetulnya anda butuhkan, kok.
Minimalis saja, yuk!
Purwakarta, 29 April 2020