image

Admin Dinas Pendidikan

11 Maret 2022

2339x Dilihat
Resensi Buku : Transmigrasi dan Kapitalisme

 

Ditulis Oleh : Widdy Apriandi 

Dr. Sofjan Sjaf, sang penulis buku, tidak lain adalah dosen sekaligus pengajar di IPB University. Fokusnya terhadap konteks sosiologi perdesaan tidak main-main. Terbukti, banyak penelitian yang ia curahkan untuk desa-desa di Indonesia. Termasuk, karena kecintaannya pula terhadap eksistensi desa, ia memformulasikan “Data Desa Presisi” (DDP). Yaitu, metodologi sensus komprehensif desa yang mengkombinasikan pendekatan spasial (menggunakan instrumen drone) dan numerik (sensus kuantifikasi lapangan). 

Buku “Transmigrasi dan Kapitalisme” yang masih ‘hangat’ dirilis belum lama ini (2022) adalah salahsatu produk penelitiannya. Lebih tepatnya ; thesis magister sosiologi perdesaan yang pernah ia tempuh kala masih menjadi mahasiswa pasca-sarjana di IPB University. Di-reproduksi menjadi buku, karya beliau ini adalah produk kreasinya yang ke-sekian--dalam arti bukan kali perdana. 

Ada beberapa hal menarik yang saya peroleh dari buku ini. Pertama, Dr. Sofjan ‘menghidangkan’ pendekatan marxis sebagai ‘pisau bedah’ realitas transmigrasi di Desa Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala - Provinsi Kalimantan Selatan. Berbekal analisis kritis khas marxis, ia ‘memotret’ pembentukan formasi kapitalisme di daerah tersebut. Dalam hal ini, kira-kira runutannya adalah bagaimana kondisi awal wilayah sebelum penerapan kebijakan transmigrasi dan pasca-terapan kebijakan yang berujung pembentukan formasi kapitalistik di daerah transmigrasi? 

Kedua, hal menarik yang saya garis-bawahi adalah Dr. Sofjan mampu menemukan paradoks kebijakan transmigrasi itu sendiri. Disatu sisi, kebijakan tersebut ditujukan untuk menciptakan pemerataan. “Pemerataan” dalam arti (1) perimbangan sebaran penduduk (agar tidak terjadi konsentrasi penduduk di suatu wilayah saja). Lalu, (2) perimbangan akses faktor produksi. Dalam hal ini, mereka yang mengikuti program transmigrasi adalah petani tunakisma (tidak punya lahan) di daerah asalnya. Kemudian, di daerah transmigrasi, mereka diberikan lahan sebanyak dua hektar oleh pemerintah (untuk kebutuhan tempat tinggal dan lahan produksi pertanian). 

Tetapi, dalam prakteknya, ada beragam persoalan yang menempatkan transmigrasi jauh dari cita idealnya. Secara kasuistis, seperti diungkap Dr. Sofjan dalam bukunya ini, perbedaan ekosistem di wilayah asal transmigran (pulau jawa) dan destinasi transmigrasi berkembang menjadi perkara krusial. Keduanya berbeda secara ekstrim. Ekosistem pertanian di pulau jawa yang memungkinkan irigasi berbeda dengan ekosistem di wilayah kalimantan yang dipenuhi tanah gambut. Karena itu, penduduk lokal mengandalkan pola bertani behuma (sistem huma/berladang) yang cenderung berpindah-pindah tempat/ekstensif. 

Dalam perspektif ekologi marxis, tegas Dr. Sofjan, perbedaan ekologi ekstrem itu menyebabkan terjadinya fenomena “jurang metabolis” (metabolic rift). Ditambah, Pemerintah menghendaki pola tanam yang serupa antara yang dipraktekkan di Pulau Jawa dan di wilayah transmigrasi. Akibatnya, terjadi perubahan radikal pola tanam. Pola tanam awal yang bersifat ekstensif (berladang secara berpindah-pindah) diganti dengan pola tanam intensif (sistem pengairan pasang-surut). Sementara, kondisi ekosistem di daerah transmigrasi diliputi dengan banyak keterbatasan. 

Keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu dilampaui dengan sejumlah pra-syarat. Sebut saja ; teknologi dan bahan baku pendukung (pupuk, kapur dan lainya). Disitulah titik masuk kuasa modal (kapital). Hanya pihak yang berkelebihan modal-lah yang dapat memiliki teknologi dan bahan baku pendukung. Sementara, pihak yang nir-modal harus rela dijebak dalam pola kapitalistik yang eksploitatif. Dalam hal ini, agar lahan garapannya bisa berproduksi, para transmigran yang nir-modal harus rela menjadi tenaga kerja upahan.  Pun, mereka harus rela menyetor hasil produksi untuk mengganti hutang pinjaman pupuk dan kapur dari para kapitalis lokal di lingkup wilayah transmigrasi. 

Fenomena itu terasa menggiriskan sekali. Apalagi jika menggunakan alat ukur harapan (hope). Bukankah motivasi terbesar seseorang yang terlibat agenda transmigrasi adalah perbaikan hidup? Faktanya : tidak (mesti) demikian. 

Buku ini perlu anda baca. Sebagai tambahan referensi. Tidak ketinggalan, sebagai pemantik (trigger) kritisisme ; bahwa (kebijakan) pemerintah terbuka untuk salah dan/atau gagal (failed).

Bagaimana Kesan Anda?

Berikan suara Anda untuk membantu kami meningkatkan pengalaman pengguna.

Sangat Buruk

Sangat Buruk (0%)

Buruk

Buruk (0%)

Cukup

Cukup (0%)

baik

Baik (0%)

Sangat baik

Sangat Baik (100%)