07 Mei 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Pegiat Kopi Purwakarta Sekaligus Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Kabupaten Purwakarta, per kemarin (06/05), resmi memulai masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan yang mau tidak mau harus diambil demi menuntaskan urusan pandemi COVID-19, lebih khusus di lingkup Kabupaten Purwakarta. Yaitu : lebih serius membatasi gerak antar penduduk biar penyebaran virus bisa ditekan semaksimal mungkin.
Tentu saja, kebijakan ini memiliki dampak. Secara sosial misalnya, secara kasuistis, PSBB berefek pada dinamika keseharian kita. Pergerakan kita terganggu. Lebih terbatas lagi ketimbang di masa-masa sebelum penerapan PSBB.
Belum lagi, efek ekonomi. Disadari atau tidak, hal ini sangat terasa, baik itu secara langsung atau tidak. Secara langsung, banyak pekerja yang di-rumahkan atau di-PHK sekalian. Pun, banyak bisnis yang berantakan karena jam dan model operasional yang dibatasi begitu rupa. Ujungnya, bisa dipastikan bahwa omzet usaha menurun dan bahkan merugi.
Sementara, secara tidak langsung, kita dihadapkan pada kenaikan harga komoditas--yang meski senyap tapi bebannya sangat terasa. Disela minimnya penghasilan, meningginya harga-harga tentu menjadi tantangan tersendiri. Tanpa ketahanan mental, hal ini bisa menjadi pemicu stress dari mulai skala kecil hingga skala yang tak terbayangkan.
KREATIF, MENGURAI PELUANG-PELUANG BARU
Yang menarik, krisis selalu saja menampakkan dwi-wajah sekaligus. Disatu sisi, ada wajah duka. Ironi. Namun, disisi lain, secara bersamaan ada wajah suka. Kebahagiaan. Tergantung wajah mana yang hendak kita jadikan fokus.
Buat saya pribadi, cukup sudah 'ruang' duka akibat pandemi COVID-19. Pertama, ya, kita semua pasti merasakan takut terjangkit virus yang bisa mematikan ini. Kedua, ya, kita lelah dengan segala kekisruhan karena situasi darurat ini. Ketiga, ya, kita frustrasi karena terbatasnya ruang gerak sehingga mengganggu kestabilan ekonomi kita.
Ruang duka itu mesti segera ditutup dengan optimisme. Sebab, tanpa itu, bagaimana kita bisa bertahan hidup melewati krisis?
Berat memang untuk menjadi optimis di masa krisis. Tetapi, bukan berarti tidak bisa sama sekali. Masalahnya tinggal kemauan untuk memulainya.
Kadisdik Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto selalu berapi-api ketika menyinggung konsep merdeka belajar. Saya pikir, konsep itu tidak berlaku untuk siswa saja. Melainkan, universal. Berlaku untuk semua insan.
Situasi pandemi COVID 19 dan segala 'drama' yang hidup didalamnya adalah objek merdeka belajar. Kita bisa sama-sama belajar dari krisis ini untuk mencari formula adaptasi di segala bidang. Minimal, untuk misi bertahan.
Dari pembelajaran itu niscaya kita akan melihat peluang-peluang baru. Bahkan, kita akan tercengang sendiri karena ternyata potensi diri kita bisa lebih dari yang sekarang ini.
Diantara kita semua terdapat kesamaan, yaitu sama-sama menjalani Work From Home (WFH). Hanya saja, pada akhirnya, waktu akan menunjukkan perbedaan kita semua berdasarkan apa yang kita lakukan selama masa WFH.
Bagi yang pembelajar, WFH akan membentuk pribadi-pribadi baru. Bisa saja kelak akan ada guru yang mahir memasak. Atau, ada THL yang punya bisnis mantap. Atau, mungkin juga ada Kepala Sekolah yang sukses menemukan teori baru.
Mari temukan peluang-peluang baru. Tetap optimis. Positif. Ingat kata Pak Kadis : terus jadi pribadi pembelajar!