25 April 2020
OLEH CECEP DARMAWAN
(Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia dan Pengkaji Hukum Pendidikan/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Profesi guru kerap mendapat perhatian serius berbagai pihak. Setidaknya ada sejumlah persoalan guru, di antaranya menyangkut profesi guru, disparitas guru, kualitas guru, kesejahteraan guru, perlindungan hukum guru, karier guru, dan lembaga penghasil guru. Penulis akan membahas profesi guru dan pendidikan profesi guru dalam perspektif hukum pendidikan.
Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan konsekuensi yuridis dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), yang mewajibkan lulusan sarjana pendidikan mengikuti PPG sebagai pendidikan profesi. Artinya lulusan S1 Pendidikan tidak otomatis menjadi guru profesional sebelum mengikuti dan lulus pendidikan profesi melalui PPG. PPG seakan menjadi harga mati bagi calon guru sebagaimana amanat UUGD.
Dikuatkan oleh Putusan MK tahun 2013 yang menolak uji materi atau Judicial Review (JR) yang diusung oleh sejumlah mahasiswa terkait pasal 9 UUGD. MK menyatakan profesi guru sebagai profesi yang terbuka. Artinya sarjana manapun bisa mengikuti PPG selama memenuhi persyaratannya. MK merujuk kepada konstitusi khususnya pasal 27 ayat (2) tentang Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pupus sudah upaya hukum untuk melindungi profesi guru melalui jalur JR ke MK. Meski masih menyisakan pertanyaan tentang dimana rasa keadilan bagi guru dibandingkan dengan profesi lain yang menjadi profesi tertutup. Misalnya profesi dokter, profesi pengacara, profesi akuntan, profesi psikolog, dan lain-lain.
Untuk memasuki profesi mereka, kita harus menempuh pendidikan sarjana sesuai pendidikan akademik di bidangnya. Nah, mengapa guru sebagai profesi tidak diberlakukan seperti itu? Dimana rasa keadilannya? Mungkinkan putusan MK dibatalkan atau dianulir oleh putusan MK berikutnya? Inilah perdebatan ahli hukum tata negara. Meski kita pahami bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang sifatnya final dan mengikat. Dan Putusan MK pun tidak dapat dilakukan JR, karena putusan MK bukan objek JR.
Sekarang kita cermati beberapa pasal dalam UUGD. Pasal 8 UUGD menegaskan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9, menyatakan kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Pasal 10, menjelaskan bahwa (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Selanjutnya Pasal 11, ayat (1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sementara ayat (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12, menjelaskan setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.
Atas pemahaman UUGD, alumni S1 Pendidikan yang telah memiliki ijasah dan bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pun tidak memiliki kewenangan mengajar selama yang bersangkutan belum mengikuti dan lulus PPG. Pemerintah masih membatasi pelaksanaan PPG ini, sementara lulusan Sarjana Pendidikan tiap tahun diperkirakan tidak kurang dari 150.000, bahkan lebih. Jika diasumsikan hanya 10 persen yang mengukuti PPG, artinya hanya 15 ribu sarjana pendidikan yang berpeluang menyandang profesi guru (Gr). Selebihnya 135.000 lulusan serjana pendidikan tiap tahun harus menunggu antrian mengikuti PPG. Jika kebijakan ini tidak segera diperbaiki maka dalam hitungan 5 sampai 10 tahun ke depan akan terjadi akumulasi pengangguran sarjana pendidikan yang luar biasa. Akan menjadi “Bom Waktu” karena mereka tidak bisa diangkat menjadi guru, meski masih terbuka peluang di luar profesi guru. Tapi peluang itu tidak akan mendongkrak angka pengangguran sarjana pendidikan secara signifikan.
Bagaimana kalau seorang sarjana pendidikan lalu ia mengajar tanpa memiliki sertifikat profesi guru, maka menurut UUGD, yang bersangkutan belum dikategorisasi sebagai guru dalam pengertian yuridis. Setidaknya ia menyandang sebagai “pengajar atau sarjana mengajar”, bukan guru. Meski ia sering di masyarakat dipanggil guru. Panggilan guru oleh masyarakat itu adalah istilah guru secara sosiologis, yang berbeda dan jauh lebih luas daripada istilah guru secara yuridis formal.
Pengalaman penulis sebagai dosen PPG, ditemukan bahwa kurikulum PPG selain belum sepenuhnya ideal, karena disinyalir substansi mata kuliah dan tidak jauh berbeda dengan mata kuliah S1 pendidikan, masih ditemukan materi-materi yang tumpah tindih dengan materi ajar pada program pendidikan akademik S1, modul-modulnya perlu dikaji ulang, model kuliah daring kurang efektif, dan soal latihan dan ujian masih diragukan validasinya.
PPG juga seakan menafikan peran PT berbasis pendidikan atau PT “penghasil” guru. Penulis tidak mau menyebut PT LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), karena istilah LPTK adalah istilah yang salah kaprah atau keliru baik secara keilmuan maupun secara yuridis. Secara keilmuan istilah LPTK tidak tepat. Apa yang dimaksud Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan? Seakan-akan ada PT yang hanya menghasilkan Tenaga Kependidikan (Tendik). Padahal faktanya yang meluluskan tendik bukan hanya PT berbasis pendidikan tetapi juga PT nonpendidikan. Lalu, dimana bedanya? Sayangnya peraturan perundang-undangan pun menyebut istilah LPTK secara tidak tepat.
Kembali kepersoalan profesi guru, UUGD menyamakan antara lulusan sarjana pendidikan maupun sarjana nonpendidikan dalam hal kesempatan menjadi guru. UUGD ini membuka kran bagi sarjana nonpendidikan untuk menjadi guru asalkan mereka dapat mengikuti dan lulus PPG. Sayangnya, lulusan sarjana pendidikan pun diharuskan hal yang sama meski proporsinya berbeda. Pertanyaan berikutnya apakah dengan mengikuti PPG dengan waktu yang relatif singkat, dijamin akan menghasilkan keluaran (output) sebagai guru yang profesional? Bukankan untuk menjadi guru profesional harus disiapkan sejak awal yang bersangkutan mengikuti pendidikan akademiknya (model kunkuren). Sementara, pelaksanaan PPG selama ini seakan serba instan tanpa ruh kependidikan bagi para calon guru. Kondisi ini pun menunjukkan betapa lemahnya sistem pendidikan nasional kita melindungi profesi guru melalui PPG. Meski sudah bertahun-tahun diajar dengan pengetahuan kependidikan dan mata kuliah kependidikan, nyatanya seorang sarjana pendidikan harus tetap mengikuti PPG.
Penulis pernah menyatakan bahwa setidaknya ada tiga persoalan dasar yang tidak diindahkan oleh pemerintah sendiri. Pemerintah sendiri anehnya, tidak konsisten terhadap apa yang tersurat dalam UUGD. Pertama, adanya amanat dalam pasal 82 UUGD bahwa pemerintah seharusnya sudah mulai melaksanakan PPG sejak Desember 2006. Kenyataan PPG dengan model protofolio dan PLPG bagi guru dalam jabatan dilaksanakan setelah Desermber 2006. Kedua, guru yang belum memilik ijasah S1 dan belum sertifikasi seharusnya sudah selesai pada Desember 2015. Namun kenyataannya sampai hari ini masih banyak guru yang belum mengikuti sertifikasi dalam jabatan. Ketiga, berkaitan dengan amanat pasal 83 UUGD bahwa semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan UUGD seharusnya diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya UUGD ini. Artinya akhir Juni 2007 pemerintah seharusnya sudah mengeluarkan aturan-aturan pelaksanaan dari UUGD ini. Namun kenyataannya, peraturan pelaksanaan UUGD keluar setelah Juni 2007, misalnya PP tentang Guru baru keluar pada 2008 (Cecep Darmawan, Pikiran Rakyat, 31 Oktober 2018). Bahkan lebih parah lagi pemerintah sendiri melanggar aturannya sendiri dengan kebijakan mengangkat calon CPNS/ASN guru yang membolehkan sarjana pendidikan yang belum PPG, dalam beberapa tahun terakhir ini.
Atas dasar probelematika di atas, hendaknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan pendidikan profesi guru/PPG ini secara komprehensif. Perlu dipikirkan tentang kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang terintegrasi dengan pendidikan akademik bagi mahasiswa program sarjana pendidikan dari prodi dan institusi PT terakreditasi masing-masing A (Unggul) dengan sistem asrama. Selanjutnya, sudah saatnya pemerintah melakukan reevaluasi perguruan tinggi pendidikan swasta yang sudah sangat banyak untuk dilakukan semacam merger. Berikutnya pemerintah pun segera memperbaiki sistem pendidikan di PT pendidikan agar lebih profesional dan tidak tumpang tindih dengan PPG. Pemerintah harus membuat model sertifikasi bagi sarjana nonpendidikan yang dilakukan secara selektif, ketat, dalam jangka waktu yang lebih lama, dengan tetap memprioritaskan sarjana pendidikan sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Dan terakhir pemerintah dan DPR segera melakukan revisi UUGD dengan memisahkan UU Guru dengan UU Dosen. Meskipun norma bahwa profesi guru sebagai profesi terbuka sulit dihapuskan mengingat norma itu sudah ditetapkan oleh Putusan MK yang bersifat Final dan mengikat (final and binding).
Bahkan, secara ideal, pemerintah sebenarnya dapat menerapkan sistem hukum yang mengadopsi tradisi hukum comman law, dengan model omnibus law bidang pendidikan. Jadi ke depan hanya ada satu UU yang mengatur hal-ikhwal pendidikan secara terintegarasi yakni UU Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas mengatur semua hal tentang pendidikan termasuk proefesi guru tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsip dasarnya saja. Selebihnya diatur dalam bentuk PP dan turunannya. Dengan demikian semoga profesi guru akan lebih terlindungi dan diperlakukan nondiskriminatif seperti profesi-profesi lainnya di NKRI ini. ***