07 Februari 2022
Ditulis oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Sekaligus Analis Kebijakan di Lingkar Studi Pembangunan Purwakarta)
Paulo Freire, pakar pendidikan kenamaan Brazil, selalu berujar bahwa pendidikan harus berangkat dari kenyataan/realitas. Karena itu, kata dia, pendidikan mesti berdasar pada pengalaman (experience). Lebih khusus, pengalaman keseharian yang dekat dengan pribadi si pembelajar/siswa.
Sehingga, kalimat “ini budi. Ayah pergi ke kantor” tidak tepat untuk konteks pembelajaran anak-anak di desa. Yang lebih tepat justru adalah “ayah pergi ke sawah”. Selebihnya, ulas Freire, perlu ditekankan juga kesadaran identitas pribadi. Yaitu, apakah ayah si budi adalah pemilik sawah atau malah sekadar petani penggarap (atau dengan kata lain “buruh tani”). Keduanya punya makna identitas yang berbeda.
“SUKMA” Sebagai Pengalaman Baru
“SUKMA” yang digagas Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Purwakarta--dalam perspektif tertentu--adalah refleksi “pendidikan-pengalaman” sebagaimana ditekankan Freire diatas. Dalam hal ini, para siswa didekatkan langsung objek pembelajarannya. Sehingga, si objek tidak lagi sebatas gambar yang hanya bisa dilihat di buku. Tetapi, bisa di-indera langsung. Dan lagi, yang lebih penting adalah bahwa teori bisa dibuktikan langsung.
Sebagai sebuah pengalaman hidup, tidak mengherankan jika pembelajaran berbasis pendidikan praktikal a la “SUKMA” akan meninggalkan jejak mendalam pada kesadaran siswa. Pada level kesadaran yang paling luar (pheriferal), katakanlah para siswa menyadari bahwa kegiatan menanam tetumbuhan (apapun jenisnya), ternyata mudah dan--terlebih--menyenangkan.
Selanjutnya, meskipun akan terbentuk pada periode waktu yang lama, kesadaran mendalam (depth) akan terbit pada diri siswa. Yaitu bahwa dari praktek-praktek tanam yang sederhana dan menyenangkan itu ternyata memiliki efek yang sangat berarti. Sekurang-kurangnya, lingkungan rumah menjadi lebih hijau ketimbang sebelumnya. Dengan begitu, kualitas hidup jauh lebih meningkat ; lebih sehat, lebih hemat (karena bisa memproduksi tanaman pangan sendiri misalnya), dan--bahkan--lebih produktif (karena tanaman yang ditanam ternyata bisa dijual).
Lebih jauh, peradaban adalah puncak dari perubahan-perubahan kecil yang dilakukan setiap orang. Ketika perubahan di lingkup keluarga menjadi suatu yang hal yang kolektif, maka artinya terjadi pergeseran peradaban. Dalam hal ini, sebagai contoh, budaya hijau di lingkungan rumah misalnya tidak hanya terjadi di satu-dua rumah saja. Tetapi, meluas dimana-mana. Lalu, berlanjut kepada perubahan-perubahan lain di lingkup yang berbeda.
Pada akhirnya, bukankah hal demikianlah yang selama ini kita inginkan? Betapa terganggunya kita dengan polusi yang semakin tidak terkendali. Betapa jengahnya kita dengan praktek pembangunan yang lebih sering dimotori nafsu menguasai ketimbang akal sehat. Betapa rindunya kita dengan alam asri--yang bahkan sekarang tidak kita temui hatta di desa-desa.
Apakah kita masih berpikir bahwa perubahan akan terjadi dengan sendirinya? Pikir lagi. Sebab, kita bisa ambil bagian untuk perubahan. Mulai dari sekarang. Saat ini.