Pendidikan_Kita - Transformasi digital telah mengubah cara manusia belajar dan berinteraksi. Dunia pendidikan pun terdampak secara langsung. Murid-murid kini bukan hanya duduk mendengarkan guru di depan kelas, tapi juga aktif menjelajah berbagai sumber belajar secara mandiri melalui internet. Di tengah perubahan ini, muncul satu pertanyaan penting: apakah guru masih relevan jika hanya mengandalkan kapur dan papan tulis?
Laporan Indonesia Digital Literacy Index 2023 yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa akses digital masyarakat, termasuk pelajar, semakin meningkat. Anak-anak tidak lagi belajar semata dari guru, tetapi juga dari video YouTube, aplikasi pembelajaran, hingga platform berbasis AI. Dalam kondisi ini, peran guru tidak lagi sebagai pusat informasi, melainkan sebagai pemandu dan penjaga nilai. Seperti dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Guru bukan hanya pengajar, tapi pembimbing dan penuntun jiwa.”
Sebagai contoh, sejumlah sekolah di daerah urban mulai menerapkan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang terintegrasi dengan teknologi digital. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, melainkan fasilitator proses belajar. Murid ditantang untuk mencari, menyusun, dan menyajikan informasi secara mandiri dengan bimbingan guru. Inilah esensi dari Kurikulum Merdeka yang saat ini tengah diimplementasikan di banyak sekolah di Indonesia.
Namun, transformasi ini tidak berjalan mulus. Survei dari Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbudristek pada 2022 menunjukkan bahwa 47% guru masih mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan teknologi digital ke dalam proses pembelajaran. Sebagian lainnya bahkan belum memiliki akses memadai ke pelatihan teknologi yang berkualitas. Artinya, untuk mendorong guru menjadi lebih adaptif, diperlukan dukungan serius dari pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat luas.
Pada akhirnya, guru tetaplah sosok yang sentral dalam pendidikan, tetapi bukan lagi dalam bentuk lama yang statis. Di era digital ini, guru ditantang untuk terus belajar, berinovasi, dan menjalin hubungan emosional yang kuat dengan murid. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Arief Rachman, "Teknologi bisa menggantikan proses, tapi tidak bisa menggantikan sentuhan dan keikhlasan guru dalam mendidik." Maka, sudah saatnya kita melampaui batas papan tulis dan memasuki ruang belajar yang lebih dinamis, kolaboratif, dan penuh makna.
Solusi untuk menghadapi tantangan pendidikan di era digital adalah dengan meningkatkan literasi digital guru secara sistematis dan berkelanjutan. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus menyediakan pelatihan yang mudah diakses, praktis, dan sesuai kebutuhan lapangan. Pelatihan ini tidak hanya fokus pada penggunaan teknologi, tetapi juga pada pendekatan pedagogi digital yang humanis. Guru perlu didorong untuk aktif mengeksplorasi platform digital, membuat konten pembelajaran interaktif, dan berkolaborasi dalam komunitas belajar sesama guru.
Di sisi lain, sekolah perlu mengembangkan budaya inovasi dan keberanian mencoba hal baru, tanpa takut salah. Kepala sekolah dapat menjadi motor penggerak perubahan dengan memberi ruang bagi eksperimen pembelajaran, mendukung guru yang berinovasi, dan memfasilitasi kebutuhan digital dasar. Ketika ekosistem ini terbangun dari pelatihan, dukungan moral, hingga sarana digital guru tidak lagi tertinggal oleh zaman, tapi justru berada di garis depan dalam membentuk generasi pembelajar masa depan.
Penulis:
Abdul Munawar, S.Ud, M.Pd
Guru SMPS 2 Al-Muhajirin Purwakarta