16 November 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Purwakarta memfasilitasi program pendidikan keterampilan setiap tahunnya. Diantaranya adalah keterampilan meracik kopi (barista)—dimana saya dipercaya sebagai fasilitatornya.
Atas kesempatan yang diberikan Disdik Kabupaten Purwakarta, saya sangat berterima kasih. Hal tersebut sangat berarti untuk saya. “Berarti” yang kadarnya bisa sangat ideologis dan eksistensial untuk saya pribadi.
Pertama, yang paling mendasar, program ini ditujukan untuk kelas sosial yang membutuhkan pembelaan (advokasi). Salahsatunya adalah anak jalanan yang kerap diwanti-wanti oleh Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto harus diposisikan sebagai prioritas.
Di ranah tersebut, secara ideologis, saya sejalan. Kelas sosial demikian harus menjadi prioritas. Sebab, tanpa ada advokasi, tidak menutup kemungkinan masalah akan semakin kompleks di kemudian hari. Tidak hanya untuk diri mereka secara pribadi, tapi juga lingkup sosial yang lebih besar.
Alih-alih perlakuan normatif, saya kira pendekatan yang lebih tepat untuk mereka adalah yang bersifat terapan. Praktek. Mereka harus diberikan pilihan lain dalam hidup. Dan dengan keterampilan yang telah dipelajari, mereka akan bisa memilih ; kembali kepada kehidupan lama atau berubah dengan skill yang telah dimiliki?
Ivan Illich dalam “Masyarakat Tanpa Sekolah” mengkritik budaya pembelajaran di sekolah yang menjauhkan siswa dari realitas hidup yang ada di sekelilingnya. Ivan menilai, siswa justru menjadi “pribadi lain” yang tidak sadar terhadap siapa dirinya sesungguhnya.
Sebagai gantinya, Ivan menawarkan pembelajaran yang menapak pada realitas. Ambil kata, jika si siswa adalah kelas miskin, maka ia harus dikenalkan dengan kenyataan kemiskinan tersebut. Sehingga, dia tahu siapa dirinya dan bisa menjawab persoalan hidupnya.
Hal ini-lah yang saya kira perlu dikenalkan kepada anak-anak jalanan dalam kerangka advokasi. Mereka harus dikenalkan dengan realitas kemiskinan yang melingkupinya. Selanjutnya, bahwa kemiskinan dapat diubah—diantaranya dengan keterampilan yang mereka miliki.
Ke-dua, secara eksistensial, pemerintah sebagai bagian dari “negara” (state) sudah berjanji untuk mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan tersebut tidak hanya berlaku untuk sekelompok orang saja, entah itu elit politik atau konglomerat. Tetapi, seluruh rakyat, termasuk anak jalanan yang tersaruk-saruk tak tentu di ruas-ruas jalan.
Program keterampilan, sedikit banyak adalah realisasi dari janji tersebut. Selebihnya, tinggal memastikan bahwa program ini betul-betul bisa memenuhi target transformasi.
Tentu saja, perubahan butuh waktu. Apalagi, urusan kemiskinan yang laten. Tapi, jika tidak dimulai segera, mau kapan?
Sebagai fasilitator, saya berharap apa yang saya berikan bisa menggerakkan para siswa yang terlibat untuk merubah dirinya. Beringsut dari kemiskinan dan menjadi pribadi berdaya.
Selanjutnya, dengan nalar dan keberpihakan Kadisdik Purwanto, siapa tahu kelak bisa dibuat kurikulum revolusioner : Pendidikan Anti Miskin. Mudah-mudahan.