13 Desember 2018
disdik.purwakartakab.go.id -- Kampung Naga, sebuah kampung tradisional yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, terutama adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi sebuah objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat.
Lokasi Kampung Naga
Sebagian besar mata pencaharian orang Naga adalah bertani, namun dalam perkembangan pada masa sekarang ini mulai terjadi perubahan dan pergeseran dimana ada beberapa tambahan pekerjaan lainnya sebagai akibat perkembangan dan kemajuan jaman, antara lain sebagai petani dan ditambah dengan mengolah sawah, sebagai pedagang kecil, antara lain menjual hasil pertanian dan kerajinan, atau bahkan bekerja sebagai buruh dan PNS di kota
Masyarakat Kampung Naga memiliki bentuk-bentuk kesenian yang dilaksanakan sehubungan dengan adat-istiadatnya sehingga dalam pelaksanannya lebih mengarah pada upacara-upacara adat, nyanyian yang berbau agama dan memiliki arti filosofis yang tinggi, hal ini juga dapat dilihat dari kerajinan-kerajinan dan arsitektur bangunan rumah masyarakat Kampung Naga.
Salah satu kesenian di Kampung Naga
Dalam hal kepercayaan yang dianut, seluruh masyarakat di Kampung Naga adalah pemeluk Agama Islam, sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Contohnya dapat dilihat dalam pelaksanaan Shalat lima waktu. Subuh, Duhur, Ashar, Mahrib, dan salat Isya, hanya dilakukan pada hari Jumat. Mereka dikatakan Shalat jika melakukan Shalat Maghrib dan Isya saja. Upacara Hajat Sasih salah satunya, upacara ini merupakan salah satu upacara rutin masyarakat Kampung Naga yang dalam pelaksanaannya sangat terlihat adanya perpaduan antara unsur kepercayaan nenek moyang dan Kepercayaan Islam.
KEBERADAAN UPACARA HAJAT SASIH
Pada dasarnya, upacara Hajat Sasih adalah sebuah upacara berupa ziarah dan pembersihan makam leluhur yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada waktu-waktu tertentu. Sebelumnya pelaksanaan, para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Diantaranya, mereka diwajibkan mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan.
Sungai Ciwulan sebagai tempat membersihkan diri
Hajat Sasih merupakan titik puncak dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 58).
Upacara ini dilaksanakan rutin tiap waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan di dalam kalender Islam, yaitu: tanggal 26, 27, 28 Muharam (Muharram); tanggal 12, 13, 14 Mulud (Rabiul Awal); tanggal 16, 17, 18 Rewah (Sya'ban); tanggal 14, 15, 16 Syawal (Syawal); tanggal 10, 11, 12 Rayagung (Dzulkaidah). Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh kaum pria dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB dan berakhir menjelang shalat dzuhur.
Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan diatas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya.
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya. Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi).
Kampung Naga Tahun 1925 dan saat ini
Secara khusus, hal tersebut (Hajat Sasih) bagi masyarakat Kampung Naga merupakan pengendali dan pengatur dalam kehidupan mereka. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Mengenai ketaatan mereka kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan, parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu udur ti agama jeung darigama” (Ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan permintaan cepat penuhi.
Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi sesuatu yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dan darigama (Darigama merupakan aturan-aturan hidup yang dipegang oleh masyarakat Kampung Naga selain agama. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah aturan-aturan adat dan aturan-aturan yang turun dari pemerintah).
Kegiatan Hajat Sasih yang dilakukan pada hari-hari tertentu
Falsafah Amanat, wasiat dan akibat, serta pamali merupakan hal yang saling memberikan kekuatan dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga. Secara general, amanat wasiat dan akibat menyangkut seluruh aspek kehidupan yang ada kaitan atau diatur oleh adat. Sementara pamali atau tabu merupakan aturan adat yang tidak tertulis, yang disepakati dan dijalankan secara turun-temurun. Dia berperan secara riil sebagai rel atau jalan yang membatasi sesuatu yang boleh dan tidak.
TATA CARA PELAKSNAAN HAJAT SASIH
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan pembersihan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi termasuk didalamnya juga membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di Masjid kampung.
Masyarakat Kampung Naga yang sedang mandi di Sungai Ciwulan sebelum upacara hajat sasih
Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga, kemudian setekah itu mereka mengenakan pakaian adat. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat umumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih atau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam. Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh mayarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing. Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain. Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga. Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan apapun
Selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak langsung menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam untuk berdoa. Selesai berdoa di makam, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen di masjid. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan agak membungkuk dan menunduk, Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci bagi masyarakat Kampung Naga. Setelah itu masing-masing peserta mengambil sapu lidi (nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam) yang telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya. Setelah semua siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan menuju makam.
masyarakat Kampung Naga sedang berwudhu dengan menggunakan pakaian adat dalam upacara hajat sasih.
Para peserta yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil membawa sapu lidi. Sesaimpainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar), masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya). Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar. Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan membersihkan sapu lidi yang mereka bawa disana. Barulah mereka menuju Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen disana.
Ritual berdoa di makam ketika uapacara hajat sasi
Acara selanjutnya diadakan di masjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Setelah kedua wanita tersebut keluar, barulah Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang dibawa kedua wanita tadi. Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al Fatihah.
Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi diluar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng beserta lauk pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga. Hidangan yang disajikan dimaknai sebagai rasa syukur masyarakat terhadap berkah dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan YME.
Patunggon ketika membawakan kendi ke dalam masjid
Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Namum nasi tumpeng ini ada juga yang langsung dimakan di masjid bersama-sama.
para wanita yang sedang membawakan tumpeng pada upacara hajat sasih
Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha mengembalikan dan memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalam dirinya karena jiwa mereka sudah tercemar oleh anasir buruk atau pengaruh luar. Dengan cara ini pula mereka berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang kotor dan berusaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 23).
UPAYA PELESTARIAN
Hal unik dalam pelestarian kebudayaan Hajat Sasih bagi penduduk di Kampung Naga ini adalah mereka seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Diantaranya adalah dengan terus melestarikan kebudayaan peninggalan nenek moyang, dilihat dari bangunan rumah yang masih mempertahankan nilai-nilai peninggalan leluhur mereka. Penggunaan alat-alat kesenian khas Kampung Naga seperti angklung dan terbang pada setiap upacara adat yang masih terus dilakukan sampai saat ini
Selain upaya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, upaya dalam pelestarian budaya Kampung Naga juga dilakukan oleh Pemda setempat, hal ini dilakukan agar upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat tidak sia-sia, terlebih setelah dimunculkannya sebuah Perda.
kawasan budaya Kampung Naga
Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka melindungi kekayaan kebudayaan di Kampung Naga adalah dengan membuat Daerah Kawasan budaya Kampung Naga (wisata khas budaya Kampung Adat Naga) ditetapkan sebagai kawasan pariwisata berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya menjadikan kawasan ini sebagai salah satu andalan kepariwisataan daerah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga pada akhirnya diharapkan setelah adanya aturan dan kepastian hukum yang jelas tentang status Kampung Naga kawasan ini akan menjadi sebuah kawasan yang memiliki nilai budaya tinggi yang dapat terus dijaga dan dilestarikan hingga ke generasi-generasi mendatang dapat terus merasakannya.
Oleh : Nurdin Cahyadi