17 September 2020
Oleh : Widdy Apriandi (Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Ada hal tak biasa yang belakangan hinggap di ruang kesadaran saya. Puisi, sebut saja begitu, menjadi terasa begitu dekat sekali. Dan fasilitator alias pembawanya tidak lain adalah Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto atau biasa saya sapa "Pak Pur".
Dalam beberapa kesempatan, ia membawa serta saya. Dan pada setiap kesempatan itu, mesti saja ada sesi untuk puisi yang menghidupkan suasana.
Ia tentu saja membaca puisi. Hingga, baru tahu juga saya, ia menulis puisi pula. Persona lain dari dirinya yang baru saya temukan belakangan. Sebagai pujangga : siapa sangka?!
SEBERAPA PERLU PUISI?
Pengalaman 'baru' ini mengantarkan saya pada sebuah pertanyaan yang barangkali 'standar' ; seberapa perlu puisi untuk perikehidupan? Pertanyaan ini, menurut saya, punya tekanan pemaknaan tersendiri, sehingga akhirnya kita bisa tahu bahwa--sekurang-kurangnya--puisi (dan berpuisi) punya kegunaan. Sebab, di tengah sengkarut kehidupan yang lengang ruang kesia-siaan seperti saat ini, tidak-kah menambah kesia-siaan baru adalah suatu hal yang konyol??
Sial. Karena pertanyaan tersebut, saya jadinya harus membaca. Dan karena membaca, saya jadi tahu sejumlah suar pemikiran dari para pelaku. Sebut saja : Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Seno Gumira...hingga Albert Camus.
Dari Chairil, saya menjadi tahu bahwa puisi adalah refleksi kesadaran personal terhadap kenyataan yang membentang dihadapannya. Sebagai sesuatu yang personal, maka sah-sah saja jika refleksi kesadaran itu begitu muram, kelam dan--bahkan--pesimistis.
Lihat bagaimana Chairil menyimpulkan hidup dalam salahsatu baris puisinya : "hidup hanya menunda kekalahan". Baris ini punya makna yang multi-tafsir. Disatu sisi, kita bisa memaknainya sebagai sesuatu yang sangat pesimistik. Tapi, dilain sisi, Chairil (barangkali) juga realistis. Baris tersebut merefleksikan kepasrahannya kepada kematian--yang adalah 'bentuk' kekalahan paling sempurna manusia dari kehidupan.
Refleksi. Makna. Ya, itulah guna puisi. Tanpa makna, apa artinya hidup ini? Dan atas dasar itu, jika merunut Joko Pinurbo, maka memaknai hidup adalah sebuah pilihan.
Dalam hal itu, ia mengakui bahwa karya-karya Chairil Anwar adalah selalu luar biasa. Hingga, sulit bagi dia untuk menentukan mana yang terbaik dari puisi-puisi Chairil. Hanya saja, ada pilihan pemaknaan hidup yang berbeda antara dirinya dan Chairil. Suatu waktu, Joko menutur, "dari Chairil, kita merasai hidup begitu suram dan pesimistis. Itu 'iman'-nya. Saya memiliki 'iman' sendiri, dimana hidup ini harus dirayakan."
Joko tak berbohong atas pernyataan itu. Puisi-puisinya dipenuhi semangat hidup--yang tak jarang diselipi banyolan. Tercermin dalam salahsatu baris puisinya yang populer, "kurang atau lebih, setiap rezeki harus dirayakan dengan secangkir kopi."
Selebihnya, puisi sebagai bagian dari sastra adalah komunikasi itu sendiri. Ia menyingkap peristiwa dan perasaan didalamnya. Begitulah. Hingga, Seno Gumira Adjidarma pernar berujar, "jika fakta terlalu kaku dan bahkan bisu, maka sastra harus berbicara".
Dalam trilogi insiden, Seno merefleksikan kisah-kisah kelam pembantaian manusia yang tak mungkin tampil di media massa. Ia membungkusnya secara apik sebagai kisah. Tapi, dengan begitu, kita jadi tahu kilasan peristiwa yang sesungguhnya--tanpa harus berharap banyak pada pemberitaan media massa. Demikianlah sastra dalam dunia kesadaran Seno. "Ketika jurnalisme bungkam, maka sastra harus bicara," ungkapnya tegas.
Seno dan pandangannya yang kritis tentang sastra bukanlah yang perdana. Jauh-jauh hari sebelumnya--diantaranya--ada Albert Camus yang resah terhadap eksistensi sastra. Ia menolak paham "seni untuk seni". Sebab, bila begitu, seni tidak berpihak pada realitas. Ia tidak mewakili kenyataan yang lalu-lalang dalam kehidupan. Dan karenanya, dengan sinis ia menyimpulkan, "seni yang begitu tidak akan bertahan lama."
Alih-alih, sastra dalam ruang kesadaran Camus adalah perantara pemaknaan realitas. Konsekuensinya, sastra ada di rentang bahagia dan derita manusia. Dan harus ada kejujuran disana. Bukan keterpaksaan. Bukan pula dorongan meluruhkan kewajiban.
Ah! Pak Pur dan puisinya membuat saya jadi begini. Menarik kembali saya pada jejak-jejak ketertarikan terhadap sastra--yang sudah lama berlalu. Kangen pada karya-karya Leo Tolstoy dan Anton Chekov yang sangat menggelitik.