14 Februari 2022
Ditulis oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta"
Dalam podcast "Endgame" asuhan Gita Wirjawan, belum lama ini, terjadi obrolan menarik bersama Rocky Gerung (Dosen Filsafat Universitas Indonesia). Pada satu moment, Rocky menyinggung soal kapasitas intelektual kebanyakan orang Indonesia saat ini.
"Jika kapasitas bung karno, bung hatta, lalu bung syahrir kita nilai 100. Maka, kita saat ini berada di minus 20!" katanya.
Pernyataan bung Rocky itu memang 'pedas'. Dan lagi, kita terbuka untuk menyangkalnya. Menyebutnya sebagai "kesimpulan tergesa-gesa".
Tetapi, terlepas dari itu, titik substansial masalahnya adalah bagaimana jika pernyataan itu benar?
MODAL INTELEKTUAL MEMADAI ; SYARAT KEMAJUAN
Berdasarkan pengalaman (experience) aktual, negara-negara yang kini meroket sebagai negara maju cenderung memiliki pola yang sama. Yaitu, terjadi peningkatan modal intelektual seiring perkembangan negaranya. Dengan kata lain, kemajuan negara ditopang oleh kemajuan intelektual.
Sekurang-kurangnya, negara-negara seperti Singapura, China dan Korea Selatan adalah contoh nyata. Tanpa perubahan kapasitas intelektual, sulit rasanya untuk--bahkan--sekadar membayangkan pencapaian seperti sekarang. China mampu menantang dominasi google dengan teknologi Kecerdesan Buatan (Artificial Intellegence) yang dikembangkan sendiri. Pemerintah China tahu bahwa penguasaan informasi adalah bagian dari kekuatan tawar (bargaining power) global.
Lalu, Singapura sebagai proxy bisnis global di asia tenggara. Negara yang bahkan lebih kecil dari Pulau Jawa ini adalah pintu masuk investasi di Asia Tenggara.
Sementara Korea Selatan, seperti kita tahu, pelan tapi pasti menjadi kiblat fashion dan musik dunia. Dominasi (Fashion) Perancis dan kultur pop Amerika Serikat yang bertahan hingga beberapa dekade ke belakang harus gontai. Diganti muka-muka asia yang akrab dihadapan kita semua.
MENJAWAB TANTANGAN
Lalu, bagaimana dengan kita? Kita selalu bangga dengan nilai kearifan lokal yang dianggap sebagai warisan dunia (global heritage). Kampanye soal ini 'di-gas' melulu di banyak forum.
Masalahnya, sejauh mana nilai kearifan lokal tersebut mampu menjadi keunggulan (advantage) bangsa dan negara ini? Sebab, pada faktanya, faktor ini belum menjadi apa-apa. Alih-alih, kita masih menjadi pengikut dan bahkan kuli di negeri sendiri.
Berarti ada variabel yang kurang atau hilang (miss). Variabel itu tidak lain adalah modal intelektual.
Dengan modal intelektual yang minus, kearifan lokal bisa jadi hanya sebatas 'histeria' saja ketimbang energi untuk loncat lebih tinggi. Lebih parah lagi, kearifan lokal membawa kita pada romantisme masa lampau ketimbang mengkontekstualisasinya ke era ke-kini-an dan ke-disini-an.
Maka, sudah sepantasnya bagi Pemerintah, untuk berinvestasi lebih terhadap modal intelektual. Hatta, di ranah daerah, karena toh bicara hari ini berarti merujuk pada otonomi daerah.
Kemajuan daerah pada puncaknya adalah kemajuan nasional/negara. Artinya, investasi modal intelektual itu harus dimulai dari daerah.
Jadi, pikir lagi, apa belanja modal pada lingkup APBD mau terbatas pada infra-struktur saja? Hal demikian penting memang. Tapi, jangan lupa, modal intelektual tidak kalah penting!