18 Juni 2021
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah redaktur, juga pegiat kopi lokal Purwakarta)
Berkali-kali Kepala Dinas Pendidikan Purwakarta, H. Purwanto melempar istilah "disrupsi" di banyak forum. Bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi di ranah pendidikan. Sekurang-kurangnya terlihat dari transformasi pola belajar ; dari model konvensional (tatap muka) ke model adaptasi-situasional-modern (daring/online).
Bagi yang belum tahu, "disrupsi" merujuk pada pergeseran mendasar dalam skala besar. Bisa gaya hidup. Bisa cara hidup. Terlepas apapun pemantiknya (trigger). Entah faktor manusia maupun alamiah.
Bersamaan dengan istilah "disrupsi", Pak Kadis kita ini juga kerap mengulang-ulang kata "produktif". Bahwa praktek pendidikan harus menghasilkan produk. Sehingga, teori tidak hanya menjadi semacam buntalan kapas yang terbang tak karuan karena tertiup angin. Alih-alih, menjadi akar yang kuat seiring dengan eksistensi produk yang dihasilkan dari praktek pendidikan itu sendiri.
MENTAL PRODUKTIF ADALAH (JUGA) PETANDA DISRUPSI
Yang perlu di-ingat, mental produktif adalah juga petanda disrupsi itu sendiri. Bagaimana tidak?! Hari ini kita sama-sama menyaksikan pergerakan zaman yang penuh dengan paradoks sekaligus anomali. Sementara teknologi semakin canggih, manusia aktual justru semakin 'ter-nina-bobo-kan'. Sebut saja ; kurang secara produktifitas. Lalu, lebih banyak menghabiskan waktu menjadi 'pecandu' teknologi ; surfing internet untuk informasi random, tertegun lama di sosial media, atau bahkan menghabiskan waktu seharian untuk game online--tanpa tujuan yang jelas.
Kondisi seperti ini jelas problematis. Namun, kerapkali hal ini dipandang sepele. Remeh. Se-akan tidak akan ada implikasi apa-apa dari situasi begini.
Dari perspektif jangka pendek, mungkin iya bahwa seakan-akan tidak ada efek apa-apa. Tapi, pikir lagi. Bagaimana jika kondisi begini berkelanjutan dalam jangka waktu lama?
Tentu saja : kebangkrutan bangsa! Sebab, tanpa modal produktifitas yang cukup, suatu bangsa akan menjadi begitu konsumeris. Dan selanjutnya, pada titik yang paling kritis, konsumerisme akan menjerembabkan bangsa pada jebakan kebergantungan (dependensi) yang tidak lain adalah penjajahan dalam model baru.
Program Tatanen di Bale Atikan (TdBA) yang di-inisiasi Kadisdik Purwanto mengajarkan nilai-nilai sekaligus praktek produktif. Dan ini adalah jawaban yang perlu ada untuk menghadapi disrupsi yang tengah berlangsung.
Rasa-rasanya, bagi saya pribadi, jengah sekali mendengarkan wacana 'generasi rebahan' yang pelan tapi pasti mendapatkan pembenarannya di konteks sosial dan historis ke-kini-an. Sebab, di benak saya, generasi model begini adalah barisan dungu dan tentu adalah pecundang dalam kontestasi skala global.
Pecundang hanya dapat sisa. Soal itu kita tahu bersama!
Purwakarta, 18 Juni 2021