20 November 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Apa yang luput dari sorotan terkait bantuan ruwat rumah Pak Tiran, guru honorer SDN Cisaat – Kec. Campaka, adalah fakta tentang fenomena ‘kurs’ kebaikan. Yaitu, bahwa dunia yang sekarang kita tinggali ini tidak hanya bergerak dengan alat tukar berupa uang. Tetapi, ada 'kurs’ lain yang jauh lebih berharga bernama “kebaikan”.
Ya, apalagi pada situasi peradaban saat ini. Kebaikan nyaris menjadi sesuatu yang ‘absurd’. Konteksnya meluas. Kebaikan tidak lagi menjadi sebatas aksi yang didorong kerelaan hati. Melainkan, bisa dibungkus macam-macam. Sebagai dorongan kepentingan politik, misalnya. Atau, malah sebagai komoditas yang bisa dikapitalisasi.
Lantas, sebagai umpan-balik, muncul persepsi-persepsi miring yang lebih sering menyebalkan. Ditegaskan dalam pernyataan di kolom komentar beragam sosial media. “Ah! paling-paling pencitraan saja!”. Atau, “Ah! biar dapet perhatian aja itu!”.
Tapi, diantara tipikal-tipikal komentar menyebalkan seperti itu, ada yang paling menggiriskan. Yaitu, lebih kurang, yang ditulis begini “kalau cuma begitu. Semua orang juga bisa.”
Masalahnya, apa iya semua orang bisa melakukan kebaikan serupa?
Faktanya : tidak. Kalau semua orang betulan bisa, saya kira akan banyak rumah orang miskin yang berubah layak. Bahkan, boleh jadi, kesenjangan kemiskinan tidak akan selebar sekarang. “Kesenjangan” yang kalau merunut kata Mas Adi Sasono dideskripsikan sebagai “yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah anak.”
MENGHARGAI KEBAIKAN
Karena itu, maka sepatutnya kebaikan dihargai—ketimbang dicurigai. Agar bisa terus tumbuh subur, berantai dan menginspirasi satu orang ke orang lain. Sehingga, pada puncaknya, bisa hadir komunitas sipil (civil society) yang ‘neraca’ kebaikannya memadai. Tidak defisit, apalagi—bahkan—minus.
Publisitas bisa dilihat dari perspektif lain. Tidak hanya di-interpretasi sebagai pencitraan. Tetapi, ada alternatif lain, yaitu amplifikasi kebaikan itu sendiri. Biar banyak orang tahu dan tergerak untuk melakukan kebaikan juga. Dalam term syariah, kita mengenal istilah "syi'ar". Maka, publisitas tidak lain dalam rangka syi'ar.
Menutup tulisan ini, sebagai pribadi saya berharap banyak kebaikan lain yang bisa digerakkan Dinas Pendidikan Purwakarta. Terlebih, untuk para guru honorer yang sejak awal sudah lebih mengedepankan 'kurs' kebaikan ketimbang fulus.