26 November 2020
Oleh :
Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd.
Setiap tanggal 25 November, seluruh guru dan komponen Bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Selain HGN, pada tanggal tersebut, ditetapkan sebagai hari lahir organisasi guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dengan demikian, pada tanggal 25 November semua komponen bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional (HGN) sekaligus Hari Lahir PGRI.
Mengapa tanggal dan bulan tersebut dipilih sebagai waktu yang khusus bagi guru dan organisasi guru (PGRI)? Karena secara historis, pada tanggal dan bulan tersebut terjadi peristiwa dan momentum pendirian organisasi sebagai tonggak spirit memajukan pendidikan yang dibalut dalam etos nasionalisme. Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tahun 1912, para guru, tokoh pergerakan, dan penggiat pendidikan di Hindia Belanda mendirikan organisasi guru yang bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi guru ini bersifat unitaristik dan independen yang anggotanya merupakan unsur-unsur dari kalangan Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah yang bekerja di sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Mereka pada umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.
Pada masa kolonial, tidak mudah bagi PGHB memperjuangkan nasib para anggotanya. Selain konstelasi politik kolonial Belanda yang mencengkram pergerakan organisasi, membatasi pergerakan yang bersifat nasionalisme, juga adanya heterogenitas dan kompleksitas keanggotaan dalam pangkat, status, dan latar belakang pendidikan yang beragam. Selain itu, bermunculan juga organisasi guru lain, baik yang bersifat keagamaan maupun kebangsaan, misalnya Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru _Ambachtsschool_ (PGAS), Perserikatan _Noormaalschool_ (PNS), _Hogere Kweekschool_ (HKSB), _Nederlans Indische Onderwijs Genootschap_ (NIOG), dan lain-lain.
Seiring perjalanan waktu dan kuatnya keinginan untuk merdeka dan mendirikan negara sendiri yang bernama "Indonesia" membuat pengurus dan anggota PGHB mengubah nama organisasi mereka menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932. Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena ada kata "Indonesia" yang mencerminkan semangat kebangsaan yang tidak disukai oleh Belanda. Sebaliknya, kata "Indonesia" ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia. Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang, segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, termasuk Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang tidak dapat melakukan aktivitas organisasi.
Secercah harapan untuk menggerakkan organisasi guru tiba seusai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Para pengurus dan anggota PGI menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia, tepat 100 hari setelah tanggal kemerdekaan tersebut, yaitu pada 24-25 November 1945. Kongres pertama yang berlangsung di Surakarta mengikrarkan dukungan para guru untuk mempertahankan dan menyempurnakan NKRI; mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; dan membela hak dan nasib buruh dan guru. Dalam Kongres Persatuan Guru Indonesia (PGI) itu, nama organisasi guru diubah menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan kala itu semua guru Indonesia menyatakan diri bersatu di dalam wadah PGRI.
Dalam menapaki sejarah panjangnya, PGRI tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan yang bersifat unitaristik dan independen. Mengingat jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para guru di tanah air, sebagai bentuk penghormatan kepada guru, Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 menetapkan tanggal 25 November sebagai hari lahir PGRI sekaligus Hari Guru Nasional. Keppres itu juga dimantapkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menetapkan setiap tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional dan diperingati bersamaan dengan ulang tahun PGRI.
Tahun 2020, seluruh guru dan komponen bangsa memperingati Hari Guru dan HUT PGRI yang ke-75. Dengan motto "Bangkitkan Semangat, Wujudkan Merdeka Belajar", peringatan HGN tahun ini terasa sangat kental dengan gelora untuk membangkitkan semangat memajukan bangsa melalui pendidikan yang dihadapkan pada tantangan di tengah-tengah pandemi covid-19, tantangan di era milineal, anomali yang dihadapi para guru. Pendidikan memang menjadi fondasi, pilar, dan instrumen influentif dalam membangun peradaban bangsa yang berketuhanan, beriman dan bertaqwa, berkarakter, berilmu, dan berketerampilan bagi peserta didik. Guru menjadi ujung tombak penggerak, pengapian, dan pewujud kesadaran dan kebangkitan dalam meningkatkan pembelajaran yang kreatif dan inovatif dan pembentuk kultur adaptif serta progresif pada kondisi sekarang ini. Di era kekinian, rumpun problematika semakin kuat yang turut mempengaruhi pendididikan, antara lain dalam hal interaksi sosial, evolusi dan difusi budaya, pola konektivitas di dunia maya dan realita, ketergantungan pada instrumen teknologi informasi, transformasi media pembelajaran, regulasi dan kebijakan pendidikan, dan lain-lain. Di sisi lain, dunia pendidikan dituntut harus memiliki _competitive advantage_ agar bangsa ini memiliki eksistensi diri yang tangguh di tengah turbulensi global.
Dalam perspektif sistem, pendidikan harus tetap berbasis pada sistem yang sesuai dengan nilai-nilai religi, sosial, dan budaya bangsa. Sebagai upaya pewarisan nilai-nilai luhur kepada penerus bangsa, landasan filsafat dan orientasi budaya bangsa bagi pendidikan sebaiknya terus dikembangkan, bukan sekedar landasan keilmuan dan psikologis dalam pengembangan akademis pada mata pelajaran. Pendidikan juga senantiasa memuliakan manusia lengkap sebagai insan yang memikiki kodrat untuk tumbuh dan berkembang. Pendidikan dan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan efektif yang adaptif dengan kondisi juga menjadi keniscayaan. Singkatnya, pendidikan yang humanisme adalah pendidikan yang dibutuhkan di negeri ini, yaitu pendidikan yang _memanusiakan manusia._ Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara yang _pamong_ masih tetap relevan. Murid akan terinspirasi dengan guru yang selalu berinovasi. Murid sebagai manusia yang unik, memiliki keberagaman, diberi pendekatan yang tidak homogen. Besok, di mana pun berada, lalukan perubahan walau kecil di kelas Anda. Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar; berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas; cetuskan proyek humanis yang melibatkan seluruh kelas; temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri; dan tawarkan bantuan kepada yang sedang mengalami kesulitan.
Selamat HGN dan PGRI. Bangkitkan Semangat, Wujudkan Merdeka Belajar.
_Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd._
_(Kepala SMPN 1 Maniis, Pengurus PGRI Kab. Purwakarta, Pengurus Komunitas Literasi Purbasari Disdik Kab. Purwakarta)._