02 Februari 2022
Penulis : Rini Muliawati AS
(Guru PAI SDN 1 Neglasari Darangdan, Kab. Purwakarta-Jabar)
*Lanjutan Artikel "Menjadi Guru Ideal, Kenapa Tidak? "
Umumnya, yang disebut guru ideal adalah guru yang mampu menguasai materi; mampu menguasai kelas; mempunyai wawasan yang luas; kreatif; inovatif; dan memiliki karakter-karakter positif lainnya. Guru ideal adalah guru yang ketika tidak datang ke sekolah akan membuat peserta didik sedih, ketika belum datang dinanti-nanti oleh peserta didik, dan ketika mengajar membuat peserta didik bahagia.
Pandangan terhadap kriteria guru ideal itu berbeda-beda, beberapa diantaranya adalah:
Pertama, guru dituntut untuk bisa menjadi panutan atau role model bagi para peserta didik dalam hal kedisiplinan, mengajar, dan tata cara berbicara. Guru adalah cermin bagi peserta didik untuk menerapkan nilai-nilai karakter yang baik. Untuk mewujudkan itu memang tidak mudah, perlu banyak pengorbanan, baik dari segi materi, waktu, tenaga, dan pikiran. Guru juga perlu memiliki kepercayaan diri dan kemampuan menguasai materi ajar (kompeten terhadap materi). Bila guru terlihat tidak menguasai materi ajar, peserta didik tidak akan tertarik untuk mempelajari materi tersebut. Tentunya hal itu ditunjang dengan persiapan administrasi yang matang sebelum proses belajar-mengajar.
Kedua, guru perlu menjaga penampilan agar menarik dan rapi sehingga peserta didik betah mengikuti pengajaran. Guru juga perlu murah senyum agar peserta didik dapat lebih nyaman menyimak materi yang disampaikan.
Ketiga, guru yang disukai peserta didik, kebanyakan, adalah guru yang humoris. Guru yang mampu menyampaikan candaan yang tidak menyinggung siapa pun, dan disampaikan pada tempat dan saat yang tepat. Humor akan membawa proses pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak kaku.
Keempat, guru yang inovatif, yaitu mampu menggunakan model pembelajaran yang tidak membosankan dan bisa menciptakan hal-hal yang baru dalam proses belajar-mengajar. Guru dituntut untuk mampu meningkatkan mutu pembelajaran melalui inovasi pembelajaran, seperti alat peraga, model pembelajaran inovatif, dan metode atau strategi mengajar yang efektif. Misal, memanfaatkan LCD atau belajar di luar kelas (menggunakan metode variatif) sehingga para peserta didik lebih senang dan bersemangat dalam belajar. Melalui penerapan model pembelajaran yang inovatif ataupun penggunaan alat-alat peraga yang bervariasi, suasana belajar akan lebih bersifat student-centered.
Kelima, memiliki semangat mengajar. Suatu pekerjaan akan terasa indah dan bermakna apabila dikerjakan dengan penuh semangat. Sosok guru ideal tentunya memiliki semangat dalam mengajar; tidak ada kata menyerah dalam melakukan sesuatu. Semangat adalah energi positif yang akan terus mendorong guru tersebut menjadikan para peserta didiknya berhasil.
Semangat yang guru miliki membuat mereka melakukan segala pekerjaan dengan senang hati meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Guru yang tidak memiliki semangat mengajar akan merasa pekerjaannya melelahkan dan membosankan.
Keenam, guru harus mampu memotivasi para peserta didik dengan kata-kata bijak. Selain itu, juga dari pengalaman tokoh-tokoh yang tadinya tidak berdaya lalu berhasil mencapai kesuksesan. Cerita-cerita seperti itu mampu membuat peserta didik lebih tertarik dengan materi pembelajaran.
Ketujuh, guru yang terbuka, maksudnya guru tidak hanya menguasai satu bidang saja namun harus mempunyai pengetahuan yang luas terhadap keadaan terkini, mampu menjawab semua tantangan zaman dengan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi yang semakin maju (adaptif dengan zaman), persiapan yang matang adalah modal utama bagi seorang guru.
Bila guru mampu melakukan berbagai tips tersebut secara konsisten, maka ia berhasil membuat dirinya menjadi guru ideal. Namun faktanya terdapat sejumlah guru yang belum memenuhi kriteria tersebut, masih banyaknya guru yang tidak disiplin waktu, datang dan pulang tidak sesuai dengan beban kerja, juga ketika masuk dan keluar kelas semaunya sendiri. Tak sedikit pula guru yang asal mengajar saja tanpa mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan sering kali mengabaikan administrasi kelas. Selain itu, dalam penggunaan metode dan model pembelajaran masih monoton, masih banyak guru yang belum melek informasi sehingga enggan untuk berinovasi mengikuti perkembangan dunia pendidikan saat ini. Berdasarkan pengalaman saya mengajar di sekolah dasar, masih ada guru-guru yang cara mengajarnya bersifat komunikasi satu arah atau cenderung teacher-centered, alasannya adalah model pembelajaran yang digunakan guru-guru tersebut tidak inovatif dan lebih didominasi oleh ceramah. Begitu juga dengan semangat mengajar dan budaya literasi yang masih rendah sehingga mempengaruhi pada nilai UKG yang rendah pula. Peran dan tanggung jawab menjadi guru tak dimaknai sebagai ladang amal dan ibadah kepada Allah SWT. Tapi hanya sekadar menjalani rutinitas pekerjaan sehari-hari untuk menggugurkan kewajiban sebagai guru, memandang pekerjaan guru hanya berkutat dengan urusan duniawi. Tak ada kaitannya dengan kehidupan akhirat kelak.
Sekarang merupakan zaman milenial, dimana akses informasi sudah dengan mudah untuk didapatkan. Hanya dengan sekali ‘klik’ apa yang diinginkan, sudah terpampang jelas di layar gadget. Namun, hal itu tidak mampu menggantikan peran seorang guru yang mengajar, mendidik, dan membina peserta didik. Walaupun anak zaman now (sekarang) sudah dimanjakan dengan teknologi gadget, tetapi guru tetap berada pada posisi pertama sebagai pembentuk karakter, pemberi pengetahuan, serta menjadi motivator bagi peserta didik.
Melihat perbandingan guru dari zaman dulu hingga ke masa era milenial saat ini dengan perbedaan yang sangat signifikan, dimana guru zaman dulu menjadi sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan bagi peserta didiknya. Selain itu, guru-guru zaman dulu sangat dihormati, baik oleh murid-muridnya maupun oleh masyarakat. Guru masih dianggap sebagai pekerjaan mulia dan terpandang. Dimana, guru zaman dulu dianggap orang pintar, panutan banyak bagi orang, menjadi sumber informasi dan sumber kebijaksanaan. Sehingga meskipun tidak menjadi kepala desa, tidak menjadi kepala dusun, tidak menjadi apa-apa, tetapi semua pengambilan kebijakan di mata masyarakat, mereka dilibatkan. Guru zaman sekarang, pertama mereka harus punya kemampuan yang tinggi. Karena sumber informasi di mana-mana, kemampuan peserta didik bisa jadi lebih tinggi dibanding kemampuan gurunya.
“Karena beragamnya sumber informasi sehingga guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Makanya guru harus bertransformasi menjadi fasilitator untuk siswanya,” tutur Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Ramli Rahim dalam sebuah wawancara bersama FAJAR PENDIDIKAN. Guru zaman sekarang ada empat tingkatan. Pertama, guru level paling rendah, yaitu guru pengajar. “Jadi kalau ada guru yang hanya datang ngajar, habis itu pulang, tidak memberikan dampak lain kepada siswanya, maka guru tersebut berada pada level terendah di Indonesia,” ujar Ramli Rahim. Kedua, guru pendidik. “Jadi dia tidak hanya sekadar mengajar, dia mendidik siswanya menjadi lebih baik, berkarakter, menjadi teladan bagi siswanya.” Pada level ketiga, lanjutnya, guru-guru inovatif yang mengajar, mendidik dan berinovasi. Dia menjadi sumber motivasi untuk siswanya. “Jadi siswanya jauh lebih hebat daripada dia. Kenapa, karena dia menjadi motivator bagi siswanya agar memotivasi siswanya untuk lebih baik.” Level empat, guru penggerak. “Jadi guru yang mampu menggerakkan. Bukan cuma dirinya, bukan cuma siswanya, tetapi lingkungannya yang langsung bisa digerakkan dengan apa yang dia miliki. Dia bisa menggerakkan siswanya untuk berbuat sesuatu lebih dari kemampuan dasar siswanya. Guru ini harus ada di semua keempat level itu, tetapi bukan level yang berbeda tapi level yang bertingkat,” jelasnya.
Ramli Rahim mengatakan, di sisi lain di era zaman sekarang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih¸ sumber informasi itu sudah sangat beragam. Jadi, informasinya dari banyak tempat, sehingga gurunya ketika ingin menjadi sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, bisa terjadi kesulitan. “Kenapa, karena guru bisa saja kalah. Satu kesalahan guru bisa berdampak pada 10 kebenaran kebaikan sebenarnya. Ini kemudian kenapa guru harus bertransformasi, tidak lagi menjadi sumber ilmu pengetahuan tetapi harus jadi fasilitator sekaligus menjadi motivator serta menjadi penggerak.” Tujuannya adalah supaya siswanya lebih bagus dari pada gurunya di era zaman sekarang dan kedua, karena perkembangan teknologi informasi, guru tidak boleh tertinggal dan harus melek informasi. “Karena dia harus tahu seperti apa perkembangan sebenarnya anak didik mereka,” pungkas Ramli Rahim. “Meskipun misalnya jambu, kalau gurunya bilang ini pisang, siswanya percaya. Tetapi sekarang jika jambu, kemudian gurunya bilang pisang, siswanya tidak terima begitu saja, karena sumber ilmu pengetahuan beragam,” katanya. Jadi guru di era sekarang jauh lebih susah ketimbang di zaman lalu dengan perbedaan yang sangat mendasar, seiring perkembangan zaman di era informasi teknologi yang sangat mudahnya memperoleh informasi.
Asep Totoh (Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa bagaimana sosok ‘Gurunya para Guru’, Ki Hadjar Dewantara di negeri yang kita cintai ini sudah mengingatkan krusialnya peranan guru. Cita-cita Ki Hadjar Dewantara untuk membangun pendidikan yang membuat rakyat kuat dan menjadi manusia yang merdeka lahir batin memerlukan para guru teguh dalam perjuangan. Apalagi titik tolak perjuangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara ialah kelompok marginal.
Selanjutnya Paulo Freire (2000) dalam Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy and Civic Courage menyebut ada tiga hal penting tentang mengajar yang perlu dipahami para guru. Pertama, tidak ada pengajaran tanpa pembelajaran. Seorang guru harus mampu melakukan riset, memiliki respek terhadap beragam pengetahuan siswa, kritis, memahami isu etik dan estetika, menjadi teladan, mau mengambil risiko, reflektif dan kritis, serta memiliki pemahaman tentang identitas kultural masyarakat sekitarnya. Kedua, mengajar bukan hanya untuk transfer pengetahuan. Penting bagi guru untuk sadar akan ketidaksempurnaan dirinya, pengakuan terhadap kondisi orang lain, respek terhadap otonomi siswa, rendah hati, logis, toleran, memperjuangkan hak, penuh sukacita dan harap, yakin terhadap perubahan, dan penuh rasa ingin tahu. Ketiga, mengajar ialah aksi kemanusiaan. Hal tersebut terkait dengan kesadaran guru terhadap profesi, komitmen, peran pendidikan dalam mengubah dunia, otoritas dan kebebasan, hati nurani, mau mendengarkan, pemahaman ideologis, dan terbuka untuk berdialog.
Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mendikbud) yaitu Nadiem Anwar Makarim, telah mengemukakan konsep kurikulum baru pada akhir tahun 2019. Konsep yang diberi nama ‘Merdeka Belajar’ ini diyakini menjadi solusi untuk reformasi sistem pendidikan Indonesia. Melalui Merdeka Belajar, siswa diharapkan menjadi seorang yang mandiri, berani, pintar bersosialisasi, sopan, beradab, dan berkompetensi. Progam Merdeka Belajar dengan merubah sistem pengajaran yang biasanya terpaku di dalam kelas, kini dapat memasukkan instrumen lain di luar kelas sebagai bahan ajar seperti observasi lingkungan maupun pencarian daring. Keaktifan siswa dalam mencari ilmu baru dari sumber yang semakin beragam diharapkan dapat meningkatkan kualitas siswa. Peningkatan kualitas siswa tentunya diiringi peningkatan kualitas tenaga pendidik. Sesuai dengan motto Merdeka Belajar yang digunakan yaitu ‘Merdeka Belajar, Guru Penggerak’, konsep ini juga menuntut inisiatif guru sebagai tangan pertama pemberi materi dan contoh bagi siswa. Menurut Mas Menteri, pembelajaran tidak akan pernah terjadi jika dalam prosesnya tidak ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada oleh guru dalam kompetensi di level apapun.
Senyatanya begitu banyak tantangan yang semakin kompleks dalam mendidik anak-anak bangsa dengan berbagai latar belakang, kelebihan dan kekurangannya. Kompleksitas dan perubahan zaman yang terus bergerak menjadi kondisi aktual yang dihadapi para guru saat ini.
Alhasil, Tantangan nyata bagaimana Ki Hajar Dewantara, Freire dan Mas Nadiem memposisikan peran guru sebagai agen pembaharu yang harus beradaptasi dengan dunia pendidikan berhembus ke arah kemajuan dan modernisasi. Saat ini adalah era jaringan kecerdasan, menjadi sebuah era yang melahirkan ekonomi baru, politik baru dan masyarakat baru
Pandemi Covid-19 memaksa dan membuka tabir pendidikan negeri ini, dengan memunculkan ragam masalah dan sekaligus solusi pendidikan kita. Setidaknya bagaimana peran guru saat ini untuk mampu;
Kolaborasi pembelajaran berbasis teknologi, Memahamsi konsep Brain Learning
Menjadi pembelajar.
Memahami keberagaman User Experience adalah pondasi mengajar, memahami siswa salah satu caranya adalah dengan melalui tindakan assessment.
Memliki Agility, bekerja lebih efektif, efisien sehingga produktivitas tercapai.
Adaptif strategi dalam era disrupsi.
Seolah menjadi potret pendidikan di Indonesia dan peran bersama juga tantangan nyata guru "era zaman now" untuk memecahkan masalah-masalah seperti :
Blue Print Pendidikan,
Belengu administratif,
Learning outcomes; kegunaan lulusan di masyarakat dan dunia kerja,
Kesejahteraan dan perlindungan guru honorer,
Peningkatan kompetensi inti guru melalui pelatihan tepat guna dan beasiswa pendidikan,
Digitalisasi pendidikan; melek digital dan ketimpangan digital,
Heterogen dan generation gap peserta didik sampai di pelosok-pelosok,
Pencapaian Keterampilan abad 21.
dan masih banyak lagi masalah-masalah pendidikan lainnya.
Guru sebagai learning agent (agen pembelajaran) yaitu guru berperan sebagai fasilitator, pemacu, motivator, pemberi inspirasi, dan perekayasa pembelajaran bagi peserta didik. Oleh karena itu guru juga harus memiliki empat kompetensi dasar sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Revolusi industri 4.0 juga menuntut dunia pendidikan melakukan penyesuain menuju pendidikan 4.0. Dunia pendidikan harus mulai mengkonstruksi ulang kemampuan berpikir kritis, kreativitas, penguasaan teknologi dan skill literasi digital. Ekosistem industri 4.0 menuntut pengembangan pada keterampilan abad 21. Untuk menunjang hal tersebut, konsep STEM mulai diperkenalkan. Peran guru dalam pembelajaran abad 21 sangat krusial untuk bisa menjalankan pendekatan STEM pada pembelajaran. Maka dari itu, guru abad 21 harus bisa lebih kreatif dan juga inovatif dalam mengembangkan suatu metode belajar.
Metode-metode berikut ini kemudian banyak digunakan oleh guru pada praktik pembelajaran:
1. Student Centered
Pembelajaran dipusatkan pada peserta didik. Pembelajaran akan mengikuti karakter peserta didik, baik itu minat maupun kemampuan belajar peserta didik. Guru cenderung berperan sebagai fasilitator.
2. Discovery Learning
Discovery learning adalah suatu metode pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk bisa menemukan pengetahuan secara mandiri. Peserta didik akan diarahkan untuk bisa belajar secara aktif dan mandiri (self learning). Memanfaatkan source yang ada untuk menggali, menyelidiki, hingga akhirnya menemukan suatu konsep pengetahuan. Metode ini juga berguna untuk merangsang critical thinking dan problem solving. Peserta didik juga akan terdorong untuk bisa menjalankan life-long learning.
3. Flipped Classroom
Ide dasar dari metode ini adalah membalik pendekatan pada suatu kegiatan pembelajaran. Peserta didik akan diberikan suatu akses terhadap materi pembelajaran. Materi tersebut bisa diakses di rumah yang kemudian bisa dipelajari para siswa sebelum pertemuan di kelas. Kemudian, ruang kelas berperan sebagai wahana diskusi untuk mengatasi masalah, mengembangkan suatu konsep, dan juga wadah untuk kolaborasi.
4. Project Based Learning
Metode ini “menceburkan” peserta didik pada suatu proyek. Melalui proyek tersebut, peserta didik bisa leluasa melakukan eksplorasi hingga akhirnya bisa menemukan suatu hasil pembelajaran. Metode ini bisa mendorong peserta didik untuk lebih kreatif.
5. Collaborative Learning
Salah satu ciri industri 4.0 yaitu menekankan budaya kerja yang kolaboratif. Metode ini akan mempersiapkan peserta didik supaya terbiasa menjalankan budaya kerja kolaboratif. Metode ini juga bisa merangsang kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial.
6. Blended Learning
Blended learning mengkolaborasikan metode pembelajaran online dan tatap muka. Metode ini bisa mengatasi keterbatasan jarak dalam pembelajaran. Dengan mengkolaborasikan 2 metode pembelajaran, pencapaian pembelajaran bisa dioptimalkan.
Karakteristik pendidikan 4.0 sangat dekat dengan teknologi dan dunia digital. Dalam menjalankan masing-masing metode pembelajaran di atas, setiap guru tentu saja perlu untuk memanfaatkan ICT secara optimal. Bagaimana seharusnya guru zaman now menyikapi perkembangan ini?
Para guru tentu saja harus bisa melakukan penyesuaian diri. Setidaknya mereka harus memiliki karakteristik seperti berikut ini:
1. Adaptif
Seorang guru abad 21 harus bisa beradaptasi dengan segala perkembangan dan perubahan yang terjadi. Smartboard hadir menggantikan papan tulis. Tablet hadir menggantikan buku. Video conference jadi proses pembelajaran yang lazim. Guru harus bisa menyesuaikan diri dengan segala perkembangan tersebut.
2. Life-long Learner
Bukan hanya peserta didik yang dituntut untuk menjadi life-long learner, guru juga. Guru abad 21 akan terus mengikuti trend pendidikan dan perkembangan teknologi terupdate. Mengacu pada hal tersebut, mereka akan menyesuaikan rencana pembelajarannya. Rencana dan metode pembelajaran yang lama akan di update sesuai perkembangan terkini.
3. Melek Teknologi
Pembelajaran di abad 21 akan banyak memanfaatkan berbagai macam teknologi terbaru terutama ICT. Maka dari itu, salah satu profil guru abad 21 yang cukup penting adalah melek teknologi. Mereka harus bisa menguasai teknis penggunaan sejumlah teknologi dan bisa menerapkannya untuk membantu pembelajaran.
4. Paham Cara Berkolaborasi
Salah satu profil guru efektif abad 21 yaitu mampu bekerja secara kolaboratif dan bisa membimbing peserta didik untuk berkolaborasi dalam pembelajaran. Kolaborasi adalah salah satu keterampilan yang cukup penting pada era ini. Keterampilan ini bisa meningkatkan efektivitas suatu kegiatan.
5. Berpikir ke Depan
Salah satu peran guru dalam pembelajaran abad 21 adalah sebagai mentor peserta didik. Tugas mereka tidak sekedar menyampaikan pelajaran, tapi juga mengarahkan. Maka dari itu, guru abad 21 harus memiliki visi bisa memandang ke masa depan. Dengan demikian, mereka bisa mengarahkan siswa ke arah yang tepat ke depannya. Contohnya, guru bisa menyadari potensi peserta didiknya, kemudian mengarahkan masa depan mereka menuju peluang karir yang sesuai.
6. Sebagai Advokat
Seorang guru tidak hanya berperan sebagai pendidik. Guru juga berperan sebagai seorang advokat. Advokat untuk profesi mereka dan peserta didik yang mereka didik. Guru harus kritis terhadap berbagai kebijakan di sektor pendidikan. Memperhatikan berbagai isu yang berkembang dan siap mengambil sikap untuk kepentingan profesi. Guru juga harus bisa mengadvokasi peserta didik. Saat ini, ruang kelas begitu penuh dengan masalah kompleks. Ada banyak anak yang mengalami mental breakdown. Anak-anak ini sangat butuh seseorang yang bisa jadi pendengar yang baik, penjaga, pemberi nasehat, dan juga pemberi dorongan saat anak-anak ini terpuruk. Selain itu, guru juga harus bisa jadi teladan bagi peserta didiknya.
Karakteristik seperti di atas tidak serta merta dimiliki oleh seorang guru. Karakteristik tersebut dimiliki berkat sejumlah usaha dan dedikasi para guru. Guru zaman now adalah seorang guru yang siap dengan berbagai tuntutan pendidikan 4.0. Guru harus aktif mengembangkan kompetensi untuk mengoptimalkan perannya. Pihak sekolah juga harus turut mendukung program peningkatan kompetensi guru.
Dunia pendidikan di negeri kita dirundung banyak masalah sehingga dinilai oleh banyak kalangan telah gagal melahirkan intelektual kritis yang santun. Terlalu banyak konsep dan gagasan yang diambil untuk menggesa percepatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Namun kesemuanya hanya sebatas konsep yang sulit terimplementasi, sehingga semua konsep yang dirancang hanya mampu melahirkan sumberdaya manusia yang cepat heran gampang kagum. Banyak tahu tapi tidak tahu banyak, serta melahirkan generasi muda yang merasa pintar tapi tidak pintar merasa.
Agar kita memiliki keutamaan sebagai guru, bagi kita yang menjadi guru, jadilah guru profesional dengan memenuhi beberapa kriteria, diantaranya :
Mempunyai akhlak dan budi pekerti yang luhur sehingga mampu memberikan contoh yang baik pada anak didik.
Mempunyai kemampuan untuk mendidik dan mengajar anak didik dengan baik.
Menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam interaksi belajar mengajar.
Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas.
Menguasai berbagai adminitrasi kependidikan ( RPP, Silabus, Kurikulum, KKM, dan sebagainya )
Mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengabdikan ilmu yang dimiliki pada peserta didik.
Tidak pernah berhenti untuk belajar dan mengembangkan kemampuannya.
Mengikuti diklat dan pelatihan untuk menambah wawasan dan pengalaman.
Aktif, kreatif, dan inovatif untuk mengembangkan pembelajaran dan selalu up to date terhadap informasi atau masalah yang terjadi di sekitar.
Menguasai IPTEK (komputer, internet, blog, facebook, website, dsb).
Gemar membaca sebagai upaya untuk menggali dan menambah wawasan.
Tidak pernah berhenti untuk berkarya (membuat PTK, bahan ajar, artikel, dsb).
Mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan orangtua murid, teman sejawat dan lingkungan sekitar dengan baik.
Aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi kependidikan (KKG, PGRI, Pramuka)
Mempunyai sikap cinta kasih, tulus dan ikhlas dalam mengajar.
Semoga kita para guru bisa menemukan keberkahan hidup karena mengajar itu tidak hanya sekadar menjadi “ladang uang”, namun juga bisa menjadi “ladang amal” untuk kita.. Aamiin
Ruang kantor SDN 1 Neglasari Darangdan
Senin, 31 Januari 2022; 12:47 WIB