06 Februari 2019
_oleh : Cucu Agus Hidayat_
Puisi (sajak) merupakan sublimasi kehidupan yang mewujud sebagai cipta sastra yang artistik dan estetik yang lahir dari rahim kontemplasi dan kreasi penyair (penciptanya). Sajak menerjemahkan totalitas kehidupan lewat penggunaan bahasa _idiosyncratic_ dan _licentia poetica_ sebagai ekspresi individual dan kebebasan pengarangnya (penyair) dalam memilih, mengolah, dan memanfaatkan kata-kata untuk menerbitkan efek estetik, artistik, dan imajinatif. Karena itu, sajak adalah keindahan yang menjelma dalam kata-kata atau bahasa. Sebagaimana yang dikemukakan Mathew Arnold bahwa _"poetry is simply the most beautifull, impressive, and widely efective mode of saying things"._ Memang, sajak adalah cara yang paling indah, impresif, dan efektif mendendangkan sesuatu. Setiap keindahan menyarankan kesan estetik, seperti yang dikemukakan filsuf skolastik, Thomas Aquinas, _"pulchrum dicitur id apprensio",_ yakni apabila keindahan ditangkap akan menyuguhkan kesenangan langsung _(immediate pleasure)._
Sajak menjadi kesaksian utuh tentang kroni pengalaman hidup penyair (penulis). Sajak ditulis sebagai ekspresi dari pengalaman puitis, baik pengalaman batin, realitas, maupun imajinatif yang diungkapkan secara implisit, samar dengan makna tersirat, dan komunikasi tidak langsung. Ketidaklangsungan makna disebabkan sifat sajak yang telah mengalami pemusatan dan pemadatan makna akibat dari penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti baru. Penggantian arti _(displacing)_ dapat berbentuk majas atau bahasa kiasan/konotasi. Penyimpangan arti _(deviation)_ yang terjadi pada ambiguitas dan deviasi leksikal, fonologis, morfologis, sintaksis, grafologis, register, dan semantis. Penciptaan ari baru _(creating)_ melalui pemanfaatan tipografi tertentu. Karena hal itu, sajak lebih padat dan memusat (konsentrasi dan intensifikasi).
Sifat kesastraan _(literariness)_ pada sajak sebagai kode sastra, tidak menghilangkan sifat komunikatif sajak sebagai kode budaya dan kode bahasa, karena sajak --seperti halnya wujud bahasa lain-- lahir dalam dwi-tunggal _"form-meaning",_ yakni sebagai kreasi penyair (penulis) untuk mengkomunikasikan endapan imajinasi, pikiran, dan perasaannya dengan medium bahasa serta untuk dinikmati para pembaca (penikmatnya). Sajak ditulis untuk menciptakan kepuitisan yang merangsang, membangkitkan, dan menyuguhkan imajinasi, inderawi, pemikiran, perasaan, pengalaman hidup kepada pembaca. Itulah kiranya yang hendak diraih oleh Tony R. dan Yeni Nuraeni dengan menulis dan menghimpun kumpulan sajaknya menjadi antologi puisi "Dalam Sebuah Dialog". Untuk merebut makna (etika, norma, logika, estetik, atau falsafah hidup) dan menikmati keindahan yang tersembunyi di balik kata, bunyi, bait, larik, dan sarana kepuitisan lain, diperlukan upaya pemahaman, terjemahan, interpretasi, dan ekstrapolasi terhadap sajak.
Sajak-sajak yang ditulis oleh Tony R dan Yeni Nuraeni merupakan ekspresi seni sebagai hasil penghayatan hidup dan suasana batin terhadap momen puitik tentang segementasi pengalaman, imajinasi, pikiran, perasaan, harapan, yang diendapkan dalam sukma dan lahir dari kandungan jiwa. Sekumpulan sajak seturut pengalaman dan penghayatan batin, juga mengungkapkan lokasi sebagai tubuh empiris yang puitis. Hal ini bisa kita lihat dalam penggalan sajak-sajak berikut.
*Dalam Sebuah Dialog*
_Jangan kau tanya arti_
_Jika kau tak mengenal makna_
_Jangan kau tanya makna_
_Jika kau tak sua arti_
_Karena beberapa detik saja berpaling_
_Kau hampa_
_Karena beberapa saat saja tiada_
_Kau terhempas_
_Kau_
_Aku_
_Mengurai kata hanya untuk bersembunyi_
_Bukan untuk mengumbar makna atau arti_
_Kami hanya bertirai_
_Kami hanya besembunyi_
_Kami hanya meminjam_
_Kami bukan apa-apa_
Penyair (penulis) menyampaikan pengalaman puitiknya dalam struktur dialog : aku-kau. Tentang eksistensi diri dalam memahami arti dan makna hidup. Sajak itu terasa puitis dan berjiwa dengan menggunakan kata-kata konotasi, metafora, dan paralelisme sebagai bahasa retorik untuk meberikan impresi dan ekspresi pada sajaknya. Pada sajak "Kenapa Aku Menulis Puisi?" berikut, penulis mengungkapkan renungan puistis tentang tujuan menulis puisi, yaitu mencurahkan segala isi hati dan jiwa dengan pena sebagai sarana ungkapnya. Sajak menjadi sarana ungkap hati dan jiwa penulis.
Kenapa Aku Menulis Puisi
_Kenapa aku menulis puisi?_
_Untuk menumpahkan laut ke dalam jiwa_
_Agar mewarna langit_
_Untuk melukis hitam pada malam_
_Untuk memanggil balam_
_Agar menumpah tinta pada kanvas asa_
_Untuk merias diri pada bumi_
_Untuk meninggikan rumput_
_Pada angkasanya_
_Kenapa aku menulis_ _puisi?_
_Padahal langit ada di hatiku_
_Padahal laut ada di hatiku_
_Padahal perih ada di jiwaku_
_Padahal luka ada di ujung penaku_
_Padahal_
_Kenapa aku menulis_ _puisi?_
Penulis (penyair) juga merekam latar tempat dan suasana di salah satu sudut Kota Purwakarta sebagai sebuah mozaik dan tubuh puitis yang ada di kota tersebut. Kekaguman pada "Sri Baduga" yang mempesona dicurahkan dalam sajak berikut.
*Senja di Sri Baduga*
_Kau Tarik seribu mata ke satu titik_
_Kau lekam seribu_ _pandang kepada satu bayam_
_Berdecap selaksa jiwa memandang_
_Kau lah sri baduga_ _memagut kenang_
_Riuh pesta bergemuruh_
_Buncah rasa payah-payah_
_Berjuta kilau warna membasuh_
_Kirana musafir terpana_
_Dari seribu zaman segala ada_
_Ke lalu ke kini ke kala_
_Diam lompat diam lari_
_Dia jua_
_Sri Baduga_
Demikian pula dengan sajak-sajak Yeni Nuraeni. Kumpulan sajaknya mampu menghenyakkan rasa, logika, imaji dan menghadirkan respons artistik, estetik, dan imajinatif. Selain itu, mampu membangkitkan gairah untuk merenungi kehidupan. Interpretasi dan ekatrapolasi yang lebih intensif diperlukan agar pembaca dapat meraih makna yang terkandung dalam sajak-sajaknya.
_Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd._
(Komunitas Literasi Purbasari Purwakarta).