27 Maret 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Pegiat Kopi Indonesia Sekaligus Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Social distancing diakui merupakan salahsatu upaya yang efektif untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Memang, secara fisik, langkah demikian baik adanya. Tapi, ada aspek lain yang perlu jadi perhatian, yaitu kesehatan mental (mental health).
Dalam pembatasan (fisik) sosial kita saat ini, faktanya adalah bahwa segala macam informasi terkait COVID-19 terus memberondong kita seharian. Kanalnya banyak. Kita bisa tahu informasi-informasi itu dari televisi misalnya. Atau, radio yang kita setel. Dan yang paling lekat, tidak lain adalah gawai yang selalu kita gondol kemana-mana setiap hari.
Beberapa jenis informasi masih bisa kita terima dengan lapang dada. Namun, tidak jarang, ada informasi-informasi yang membuat kita jadi drop. Entah peningkatan jumlah orang yang positif terpapar virus. Entah informasi yang beredar si subjek positif yang jaraknya berdekatan dengan rumah kita. Atau, yang paling bikin panik adalah kabar kematian akibat virus ini.
Di tengah keterdesakan kita, kabar-kabar demikian begitu mengganggu. Bikin stress. Hingga, akhirnya membuat kesehatan jiwa kita terganggu.
dr. Andri, pakar kesehatan jiwa Omni Hospital, mengungkapkan bahwa di tengah situasi darurat ini, banyak orang yang terserang psikis-nya. 'Teror' COVID-19 masuk ke 'ruang' bawah sadar, sehingga tak jarang banyak pribadi yang merasa terdampak. Padahal, tidak.
Dia melanjutkan, hal itulah yang dimaksud dengan psikosomatis. Penyakit yang sebetulnya tidak ada, tetapi kita merasakannya. Faktor pemicunya tidak bukan adalah aspek kejiwaan yang terganggu. Cemas berlebih--yang membuat tubuh seakan-akan berada pada kondisi positif COVID-19.
Kita cemas ketika batuk. Kita takut bersin. Bahkan, kita khawatir manakala tubuh terasa panas sedikit.
DO'A : MEDIA PENGUATAN MENTAL
Sakit fisik ada obatnya. Pun, sakit mental. Tanpa bermaksud menggurui, diantaranya, obat yang paling dekat dan bisa kita lakukan saat ini juga adalah do'a.
Merunut ulasan Arry Ginandjar, praktisi ahli ESQ, do'a mengantarkan kita pada titik nol (zero). Titik pasrah. Suatu kondisi kesadaran yang paling azali bahwa kita adalah makhluk yang lemah lagi fana. Semata 'remah-remah' semesta.
Dan yang menarik, kata Arry, titik tertinggi seorang makhluk adalah pada kondisi pasrah tersebut. Manusia akan menjadi kuat, lanjutnya, karena dia tahu ada Allah yang bersamanya. Allah Swt yang maha besar. Allah Swt yang berkuasa atas apapun yang ada di langit dan di bumi.
Langkah do'a bersama yang dilakukan serentak hari (27/03), salahsatunya lewat kontribusi arahan teknis dari Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto, semoga bisa menjadi aplikasi penguatan mental kita semua. Dan dengan mental yang kuat itu, kita akan bisa melewati masa sulit ini.
Di ujung tulisan ini, sebagai refleksi saya pribadi, saya yakin kita semua tercengang. "Tercengang" oleh paradoks zaman. Kita hidup di zaman yang serba canggih. Era yang disebut "akhir sejarah" (end of history). Teknologi berkembang. Penemuan-penemuan muncul pesat. Tanpa kecuali, di dunia kesehatan.
Mesin dan piranti otomatisasi lain diandalkan untuk memudahkan hidup manusia. Google jadi sandaran referensi pengetahuan (dan kebenaran mungkin?). Penyakit-penyakit bisa dikontrol lewat vaksin-vaksin hasil temuan.
Manusia seperti bisa menjawab segalanya. Berhak atas pengelolaan semesta.
Hingga, makhluk bernama corona ada. Se-brengsek apapun dia, yang jelas dia membuktikan bahwa masih ada kekuatan lain yang tidak terbayangkan. Misteri. Tidak terjangkau pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Bahkan, tidak terpaut dimensi ruang dan waktu.
Pada situasi demikian, lagi-lagi, skenario peradaban berulang. Yaitu : do'a yang menyelamatkan. Seperti Musa dan kaumnya yang diseberangkan melewati lautan. Seperti Ibrahim yang diselimuti dari panasnya api. Seperti Muhammad yang diperjalankan Allah Swt sebelum akhirnya hijrah ke Madinah--lalu kembali Mekkah dan puncaknya Islam menjadi poros peradaban dunia.
Do'a. Cuma itu. Segalanya.
Purwakarta, 27 Maret 2020