15 Mei 2019
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Purwakarta Sekaligus Direktur Lingkar Studi Interdisipliner Purwakarta)
Dua hari lalu, tamat sudah saya baca buku berjudul "seni hidup minimalis" karya Francine Jay. Bacaan yang keren, sih, menurut saya. Sebab, pokok ulasannya bisa dibilang "provokatif".
Iya. Tidakkah ajakan menjadi minimalis di era hiper-konsumtif seperti yang berlaku saat ini adalah sebuah 'provokasi'?
Iya. Disadari atau tidak, di setiap sela kehidupan kita saat ini, iklan produk (baik berupa barang atau jasa) hadir dalam skala paling massif sepanjang sejarah peradaban. Di televisi, radio, koran, reklame jalan, bahkan handphone yang kita pegang, selalu saja ada iklan yang lewat. Dan pesan seluruh iklan itu selalu sama, yaitu BELI dan BELI!
Jangan heran, sekuat apapun bertahan, pelan tapi pasti kita tergerak menjadi manusia konsumeris. Entah berapa banyak citra produk yang ada di benak kita. Semua tertanam sebagai ingatan. Malah, lebih dari itu, citra produk bisa bertransformasi menjadi semacam obsesi yang menggebu. Ingin segera membeli, bagaimana pun caranya!
Pada akhirnya, ketimbang digunakan sebagai sarana, produk justru jadi tujuan hidup. Bahkan, dalam beberapa kasus yang lebih ekstrim, produk jadi tuhan-tuhan kecil yang disembah manusia. Pada level psikologis-ekstrem ini, manusia dinilai dari produk yang dia punya. Sementara, perkara moral dan intelektual jadi urusan ke sekian.
MENGHALALKAN SEGALA CARA
Bagi mereka yang berkelimpahan atau punya "DNA Sultan", konsumerisme boleh jadi bukan masalah. Toh, kapanpun mau beli, kemampuan finansial memadai. Tak peduli, barang menggunung tak terpakai--dan kelak berganti status menjadi "sampah".
Tapi, beda halnya dengan kelas masyarakat yang kere atau pas-pasan. Konsumerisme jelas merupakan persoalan yang tidak sembarang. Banyak efek sosial dan--bahkan--hukum yang muncul akibat dorongan konsumerisme.
Dari banyak fenomena yang terlihat di sekitar kita, keterbatasan finansial si kere yang seharusnya menjadi penghalang seringkali malah didobrak paksa. Caranya macam-macam ; pinjam duit, kredit, bahkan--kalau perlu--aksi kriminal (menipu, mencuri, korupsi). Intinya ; yang penting barang yang dikehendaki terbeli!
Parahnya, siklus "setan" ini sulit untuk dihentikan. Keinginan membeli terus muncul seiring kelahiran produk-produk baru yang begitu cepat. Bisa ditebak, pada titik paling klimaks, konsumerisme tidak akan pernah berpihak pada si kere. Sebaliknya, konsumerisme menjerumuskan si kere pada titik yang paling hina.
BERANI JADI MINIMALIS?
Maka, Francine Jay yang muak dengan situasi hiper-konsumsi kekinian mengajak khalayak untuk hidup minimalis? "Minimalis" dalam arti kepemilikan sederhana. Seperlunya. Tidak berlebih-lebihan.
Kata Francine, pada prinsipnya, tak banyak barang yang kita butuhkan dalam keseharian. Tak percaya? Francine mengajak kita untuk membayangkan situasi kebakaran. Di situasi darurat seperti itu, barang apa yang akan kita selamatkan? Itulah sesungguhnya barang yang sangat berarti bagi kita!
Lain dari itu, Francine mengajak kita sebagai pembacanya untuk lebih sadar soal kepemilikan produk. Sebagai contoh, baju yang kita pakai, fungsinya adalah untuk menutup tubuh kita. Itulah baju. Kenapa harus membeli sekian banyak jika sedikit saja cukup? Apalagi, kita membeli demi gengsi brand (merk) baju itu. Sia-sia, kata Francine.
Begitu terjebaknya kita dalam pusaran konsumerisme. Sehingga, 'buta' dalam membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Sialnya, kita lebih sering tergerak oleh keinginan. Sedangkan keinginan adalah sesuatu yang bersifat tidak terbatas (unlimited).
Saya jadi teringat kawan saya yang stress sendiri gara-gara perkembangan smartphone. Suatu waktu, dia baru beres beli smartphone idaman yang menurut referensi yang dibacanya dinilai terbaik. Tentu, dia sangat senang karena bisa memiliki. Kemana-mana, smartphone itu selalu dibawa dan dibangga-banggakannya.
Masalah muncul di kemudian hari. Dalam rentang satu bulan saja, keluar produk smartphone lain yang ber-spesikasi sama dengan smartphone Kebanggaannya itu. Bahkan, bandrol harganya jauh lebih murah!
Kawan saya kontan stress. Pertama, karena ada produk yang jauh lebih murah untuk spesifikasi yang sama. Ke-dua, stress akibat dibelit tunggakan untuk produk yang sudah kehilangan kebanggaan.
Jadi, apa masih mau konsumeris? Atau, lebih baik coba-coba jadi minimalis?
Saya memilih yang ke-dua. Jadi minimalis. Sebab, pada akhirnya saya disadarkan bahwa menaruh asa pada benda adalah sebuah kekonyolan. Ada cara lain, kok, untuk bahagia.