15 Februari 2019
Kamis pagi, 7 Februari 2019, Pukul 05.30 WIB .
Matahari yang sudah keluar dari peraduannya, tampak terbit di balik puncak Gunung Bongkok yang menyinari pucuk-pucuk pohon dengan rona mahkota dan merambat memasuki celah ranting pepohonan. Titik-titik embun mendekap erat dedaunan. Angin semilir berdesir lirih, seakan menyapa alam.
Di gerbang sekolah, hari itu terasa indah. Guru dan TAS menyambut satu per satu siswa yang datang menuntut ilmu. Barisan siswa tersenyum dikulum memancarkan rona bahagia. Dalam genggam tangannya, seruas bambu dipegang erat. Di depan kelas sudah ada guru yang menyambut dengan salam dan senyum. Butiran-butiran beras dalam ruas bambu satu per satu dituangkan ke dalam wajan plastik. Hari itu, kesatuan helaan nafas kasih dihidangkan oleh siswa, guru, dan TAS untuk sesama.
Kamis siang, 13.00 WIB.
Hari beranjak siang. Matahari mulai meninggi. Guru dan perwakilan siswa bergegas menuju rumah yang dituju. Rumah sederhana yang dirindangi pepohonan yang tumbuh di sekitarnya cukup sepi. Angin semilir berhembus mengusap badan yang mulai kegerahan. Kicauan burung sesekali terdengar laksana nyanyian alam dan dipadu dengan derai ranting pohon bagaikan seruling harmoni alam. Daun pohon nyiur yang terletak di sekitar sudut pekarangan rumah melambai yang menambah damai di hati.
Tibalah beberapa siswa dan guru ke rumah yang dituju. Kedatangannya, tiada lain untuk menjalin kasih dengan memberikan "beas kaheman" kepada warga sekitar. Raut bahagia terpancar dari muka Ma Hindun, Ma Emun, Abah Gunel, dan Abah Samsudin. Dengan mata berkaca-kaca haru dan bahagia, terpancar asa untuk menyambung hidup seisi rumahnya. Asa yang disambung dengan welas asih dari yang merasa mampu untuk berbagi bahagia dengan sesama yang kurang mampu.
----------------------------------------
Sebagian besar masyarakat Indonesia bercorak masyarakat agraris. Masyarakat agraris memiliki sistem budaya dan tradisi yang khas, baik menyangkut sistem religi, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, maupun sistem kemasyarakatan. Dalam sistem kemasyarakatan, terdapat tata nilai yang menujukkan sifat dan perilaku sebagai falsafah hidup yang menjungjung tinggi toleransi dan harmonisasi kehidupan sosial. Falsafah hidup tersebut ialah silih asah, silih asih, silih asuh, pikeun ngawangun masyarakat gemah ripah repeh rapih, masyarakat anu cageur, bageur, pinter, tur singer.
Dalam kehidupan agraris masyarakat Sunda dikenal sebuah tradisi sebagai bentuk kepedulian sosial dan rasa syukur, yaitu tradisi "beas perelek". Istilah beas perelek sendiri muncul dari ciptarasa bahasa onomatope, yaitu bunyi yang terdengar akibat dari suara segenggam butiran beras yang dimasukan ke dalam ruas bambu. Karena faktor bunyi auditif tersebut, selanjutnya masyarakat menyebut tradisi itu dengan istilah "beas perelek".
Sebagian orang beranggapan bahwa beas perelek merupakan tradisi yang mirip dengan tradisi "seren tahun". Tradisi seren tahun dilakukan setelah panen padi dan menyisihkan hasil panen untuk disimpan di dalam "lumbung padi" sebagai wujud rasa syukur atas berkah dan karunia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa, serta sebagai bentuk kepedulian sosial sekaligus menjadi jaring pengaman sosial masyarakat. Tradisi ini merupakan wujud dari sifat masyarakat agraris yang kemudian terbentuk menjadi sebuah kesadaran kolektif.
Tradisi beas perelek sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang sangat penting dan bermakna. Beas perelek dapat meningkatkan kepedulian atau rasa empati, berperan serta dalam kesejahteraan sosial, melatih rasa berbagi, menajamkan sikap kebersamaan dan gotong royong, mewujudkan harmonisasi sosial, dan membentuk jejaring pengaman sosial. Wujud karakter siswa yang baik tanpa terasa dapat dibentuk melalui kegiatan beas perelek.
Internalisasi dan transformasi nilai-nilai tradisi beas perelek penting untuk terus dibina dan dikembangkan. Terlebih-lebih di era milenial sekarang ini yang mulai terjadi evolusi dan difusi sosial budaya yang masif, sehingga dapat mempengaruhi sistem kemasyarakatan. Salah satu upaya transformasi nilai tradisi tersebut ialah melalui kegiatan beas perelek atau beas kaheman di sekolah. Transformasi nilai-nilai tradisi tersebut di sekolah merupakan bentuk inkulturasi budaya, yakni melatih dan membiasakan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam budaya setempat. Objek utama transformasi niliai tradisi ialah pembinaan kepribadian dasar, yakni aspirasi, intuisi, sikap, keyakinan, harapan, perasaan, dan penilaian. Komponen karakter yang terbangun dapat ditempuh melalui tahap pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral. Nilai religius, integritas, mandiri, nasionalis, dan gotong royong bisa ditanamkan kepada para siswa.
Kegiatan beas perelek atau beas kaheman di sekolah dilaksakan secara rutin setiap hari Kamis. Hari Kamis disebut hari "Welas Asih" sebagai pelengkap hari "Nyanding Wawangi". Pada hari tersebut, sekolah memberikan ruang untuk berekspresi dan berbagi. Siswa yang berkategori mampu secara ekonomi, mengumpulkan segenggam beras dalam rumpun bambu yang dibawa ke sekolah. Demikian juga para guru dan staf tenaga administrasi sekolah. Selanjutnya, beras yang terkumpul dibagikan kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar sekolah yang berkategori kurang mampu. Siklus kegiatan berlangsung secara kontinu dan merata pada semua warga sasaran.
Esensi kegiatan beas perelek ialah untuk membina dan menumbuhkan karakter peserta didik. Dampak dari kegiatan tersebut sungguh besar bagi pengembangan karakter siswa, yaitu munculnya empati, kepekaan, kepedulian, kasih sayang. Demikian pula dampak bagi org tua siswa yang secara aktif telah membantu warga sekitar sekaligus menjadi jaring pengaman sosial yang dibutuhkan untuk memelihara ketahanan masyarakat dan harmonisasi kehidupan sosial.
Semoga bermanfaat. Aamin Yaa Robbal Aalamiin.
ditulis oleh : Cucu Agus Hidayat, S.Pd.,M.Pd.
(Kepala SMPN 3 Tegalwaru, Pengurus Komunitas Literasi Purbasari Disdik, Pengurus PGRI Kab. Purwakarta).