13 November 2019
disdik.purwakartakab.go.id -- Ada istilah “one fine day”. Yaitu, hari yang dirasakan sangat baik, membuat hati lega dan penuh kegembiraan. Saya mengalami itu kemarin (11/11). Tepatnya, ketika bertemu dan melatih siswi kelas VII SMPN Kiarapedes. Yunda namanya. Siswi cerdas, periang dan penuh semangat.
Pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang dengan usia sebelia itu tertarik untuk mempelajari seni meracik kopi? Tentu, tidak serta-merta atas dasar kehendak sendiri. Dan memang, faktanya begitu. Yunda ‘berkenalan’ dengan kopi karena ia mewakili Kabupaten Purwakarta untuk misi unjuk kebolehan bidang non-akademis. Jadi, sementara kawan-kawannya yang lain terlibat cerdas cermat, Yunda disiapkan untuk bisa presentasi kopi.
Beratkah? Mestinya berat. Apalagi, untuk ukuran anak-anak yang sejatinya lebih ingin main ketimbang belajar. Terus terang, awalnya saya pesimis. Terlebih, melatih anak-anak adalah pengalaman yang sama sekali baru bagi saya. Maka, situasi seperti ini jelas merupakan tantangan tersendiri.
Tapi, pada prakteknya, saya malah dibikin heran. Yunda yang menjawab polos “tidak suka kopi” itu bisa mengikuti semua materi pelatihan yang saya sampaikan. Ia sigap mendengarkan semua arahan. Pun, ia tak canggung bertanya sekiranya ada yang tidak dimengerti.
Rasa takjub saya tidak berhenti disana. Proses praktek penyeduhan kopi dilewatinya tanpa kesulitan. Saya memberinya dua materi aplikasi seduhan dasar ; (1) Kopi Tubruk dan (2) Kopi Filter menggunakan alat aeropress. Ia bisa mengaplikasikannya dengan sangat baik ; dari mulai memanaskan air, menimbang gramasi kopi dan menggilingnya menjadi bubuk, hingga proses penyeduhan. Sekali lagi, ia tak canggung. Jika ada keraguan saat proses penyeduhan, ia bertanya. Ditandai kerlingan mata khas anak-anak dan senyum simpul, saya bisa menangkap pesan kalau dia sedang bingung. Segera saya bantu untuk mengarahkan kembali ke tahapan yang benar.
Bahkan, pada saat tahapan penghidangan, Yunda bisa mengekspresikasikan keramah-tamahan yang menjadi salahsatu poin penting bagi para barista. Ya, meski ada sedikit ekspresi malu, ia mau menuturkan kalimat ajakan yang saja ajarkan, “silakan dinikmati kopinya. Semoga kopinya enak”. Lucu sekali.
PENGENALAN KECAKAPAN HIDUP SEJAK DINI
Pengalaman mengenalkan kopi kepada Yunda memberikan perspektif baru kepada saya. Yaitu, bahwa pengenalan kecakapan hidup (life skill) ternyata bisa dilakukan sejak dini. Masalahnya tinggal kemauan sekaligus kesempatan memberikan pemahaman sekaligus pengalaman tersebut kepada para siswa.
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto pada konteks itu saya kira perlu diberikan apresiasi. Pasalnya, kemampuan meracik kopi di lingkup pendidikan Purwakarta--sepengetahuan dan sepengalaman saya--adalah sesuatu yang sama sekali baru. Sehingga, kesempatan pelatihan kecakapan hidup di bidang perkopian untuk para siswa (lebih lagi di usia belia ; Pen) tidak bisa tidak merupakan transformasi yang boleh dibilang signifikan. Sekurang-kurangnya, Dinas Pendidikan (Disdik) pelan tapi pasti menjadi jauh lebih terbuka--dalam arti adaptif terhadap perkembangan zaman.
Keluar dari skema kebiasaan memang bukan hal mudah. Sebab, kebanyakan orang sesungguhnya menghendaki stabilitas--tak peduli seberapa besar bosan yang dirasakan. Sementara inovasi, meskipun diakui perlu, kerap dijawab tentangan.
Saya sadar, apa yang dilakukan oleh Pak Pur (sapaan saya kepada beliau) sementara ini masih sebatas eksperimen. Katakanlah, dia masih sedang dan terus sepertinya menggali formula-formula baru untuk memajukan pendidikan di Kabupaten Purwakarta.
Dan ya…tidak ada eksperimen yang langsung jadi. Tokcer. Tidak ada. Bahkan, Alva Edison harus melalui ribuan kali percobaan sebelum sampai pada penemuan yang sangat besar artinya buat peradaban manusia modern ; lampu.
Terhadap langkah eksperimental yang ditempuh Pak Pur, saya berharap ia tak lelah dan pasrah sehingga kembali pada format sebelumnya. Karena inisiatif yang ia lakukan, walaupun belum secara luas dirasakan manfaatnya oleh publik, tetap bernilai bagi sebagian orang.
Ambil kata, sebagai sampel kecil, Yunda salahsatunya. Ia masih belia memang. Lagian, belum tentu minatnya akan konsisten hingga ia dewasa. Ya. Betul. Namun begitu, jangan lupa satu hal ; ia sudah diberikan pengalaman kecakapan hidup sejak awal.
Atas dasar itu, saya yakin, Yunda akan menjadi pribadi yang berbeda dibanding teman-teman yang lain. Minimal, ia lebih sadar dan peka terhadap aspek kecakapan hidup. Karena, terbukti ia terampil.
Selebihnya, tinggal bagaimana para guru dan lingkungan keluarga dalam mendukung sisi terampilnya. Saya percaya, dengan kesabaran dan ketekunan dalam membimbing, Yunda akan menjadi barista Purwakarta yang handal di kemudian hari.
Hingga, tak sungkan saya bilang padanya saat sesi terakhir pelatihan. “Kutunggu kamu sampai kamu nanti seumuran mahasiswa. Kamu akan jadi barista hebat,” kata saya pada Yunda. Lalu, kami tos dan ketawa sama-sama.