26 Juli 2020
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis Adalah Redaktur Website Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta)
Saya berharap, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tidak sebatas seremonial. Sebab, jujur saja, makna (sekaligus) urgensinya terlalu istimewa. Tepat seperti Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Purwakarta, H. Purwanto bilang, Kamis (23/07) malam, yaitu bahwa "anak-anak pada prinsipnya adalah generasi penerus bangsa".
Pernyataan itu ia ungkapkan kala menyampaikan sambutan di acara peringatan HAN yang digelar di lingkungan kantor Disdik Purwakarta--dan disiarkan langsung lewat live streaming di channel Linuhung TV.
Jelas, pernyataan beliau bukanlah pokok pikiran genuine dan betulan perdana. Dengan kata lain, ia bukan orang pertama yang menutur gagasan begitu. Sebelumnya, banyak tokoh lain yang berucap serupa. Bahwa anak-anak Indonesia kelak pada akhirnya akan mengisi dan sekalian menggerakkan roda sosial dan historis Indonesia.
Masalahnya, paradoks dengan pernyataan yang disuarakan, isu anak faktanya masih kerap dipandang sebelah mata. Ditempatkan di pinggiran (periferal), tidak dilirik sebagai suatu hal yang mendasar. Padahal, persoalan yang menimpa anak Indonesia tidak jarang pelik.
TAWURAN PELAJAR
Yang paling sering terjadi, ambil kata adalah tawuran pelajar. Pelan tapi pasti, tawuran tumbuh menjadi "budaya" di kalangan pelajar. "Budaya" dalam arti perilaku yang kontinu, berakar dan akhirnya menjadi identitas.
Seberapa mengerikan? Jelas, sangat mengerikan! Sebab, dalam perkembangannya, "tawuran" sudah definitif keluar dari konteks kenakalan remaja. Dalam hal ini, 'wajah' tawuran pelajar lebih sering merepresentasikan tindak pidana alias kriminal.
Ya, para pelajar yang terlibat sedari awal sudah punya niatan--minimal--melukai. Apa itu kenakalan? Jelas bukan. Lagian, secara konseptual, "anak" atau "remaja" mestinya tidak ada relasinya dengan senjata tajam dan bahkan penganiyaan.
Hal ini diperparah dengan psikologi komunal kita saat ini yang pelan tapi pasti cenderung berujung pembiaran. Sehingga, tidak mengherankan bila nyaris selalu ada korban jiwa setiap tahunnya akibat perilaku bar-bar ini.
PUTUS SEKOLAH, MENGGELANDANG
Tidak kalah mengkhawatirkan, banyak anak di Indonesia pada umumnya atau lebih khusus di sekitar kita yang putus sekolah—padahal masih di rentang usia wajib belajar. Terlepas apapun alasannya, fenomena tersebut sangat memilukan. Apalagi, jika situasinya diperkeruh dengan kenyataan bahwa diantara anak-anak yang putus sekolah itu ada yang memilih untuk hidup menggelandang ; menjadi anak jalanan di sekitaran lampu merah, mengemis dan/atau mengamen dari satu tempat ke tempat lain.
Di satu sisi, ironisnya, fenomena menggiriskan tersebut ‘dibingkai’ sebagai “penyakit sosial”. Seakan-akan, problematika tersebut sebatas anomali sosial saja. Sehingga, pendekatannya dinilai ‘masuk akal’ dengan hanya menggerakkan aparatur negara, seperti Satpol PP—untuk menangkap dan ‘membina’ (?).
Padahal, lebih dari itu, problematika ini sesungguhnya adalah soal kebangsaan dan kebernegaraan kita. Sebab, mereka yang putus sekolah dan menggelandang, pada hakikatnya adalah modal Sumber Daya Manusia (SDM) yang menentukan takdir sejarah Indonesia di masa yang akan datang.
Tanpa perlakuan yang tepat dan holistik, artinya kita akan kehilangan SDM potensial yang bisa berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Terlebih, tantangan ke depan akan jauh lebih berat lagi. Karena, persaingan SDM tidak lagi memiliki batasan ruang lingkup. Manusia Indonesia akan berkompetisi ketat dengan manusia-manusia dari belahan dunia lain.
Masalahnya, ada ‘hukum besi’ yang tidak akan berubah digerus zaman, yaitu bahwa dalam situasi persaingan itu selalu ada yang menang dan kalah. Mereka yang up to date dan bisa beriring dengan perkembangan zaman akan menang. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kualifikasi, mohon maaf, akan tersingkir dari arena persaingan yang keras tersebut.
Tentu saja, kita sepakat untuk menolak menjadi pihak yang kalah tersebut, bukan?!
Masih banyak masalah lain yang sejatinya menimpa anak-anak kita dan jarang mendapatkan ‘spot light’ sebetulnya. Tapi, apapun itu, saya sekali lagi sepakat dengan pernyataan Pak Kadis. Yaitu, bahwa solusinya tidak lain adalah kasih sayang.
Anak-anak kita membutuhkan kasih sayang paripurna. Tidak hanya dari orang tua. Tetapi, lingkungan pergaulan terdekat, masyarakat dan bahkan negara.
Purwakarta, 25 Juli 2020